Skip to main content

Pergi

Tidak ada
yang jauh lebih mengerikan selain terjebak dalam kegamangan yang tak kunjung pecah kebuntuannya. Malam itu dingin menembus pori-pori dengan lirih, dinding seakan menciptakan retakan-retakan yang enggan dijelaskan, atap bergetar, kepala terus berbisik hingga berbusuk. Dua bola mata yang dipaksa sedari tadi untuk segera terpejam terus saja melakukan manuver perlawanan, sial! Suara jam dinding terdengar seperti kumpulan alat musik orkestra mengiringi kepala yang tidak pernah berhenti bernyanyi dengan nada-nada busuknya. Aku benci, sangat benci situasi ini, ku ambil dua sachet obat batuk yang tergeletak di meja depan ranjangku, dan blep! Tertelan habis. Aku memohon agar ia dapat berubah menjadi satuan pengamanan, menjagaku dari penyamun pikiran yang terus menerus berputar. Aku hanya meminta satu, aku ingin tertidur, lelap, tanpa ada gangguan, tenang.

Wisuda, mimpi buruk yang akhirnya jadi nyata. Bukankah ia harusnya bermanifestasi menjadi perihal yang suka cita? Saat teman-teman bereuforia bak di nina bobokan toga, larut dalam ratusan ucapan selamat, dan aneka perayaan, aku menggigil didalam kamar, kamar kos-an yang selama ini menjadi teman setia menerima segala bentuk hina dan lara tanpa terduga. Lalu kenapa?

“Al, bukankah ini adalah balas dendam yang kau inginkan?”

“Al, bukankah ini validasi yang kau cari?”

“Belum cukup selesai kah masa pembuktian yang kau lakukan?

“Apalagi? Apa? Berhentilah. Kembalilah!!

Perubahan begitu cepat terjadi, semakin tinggi semakin takut rasanya untuk terjatuh. Aku mengabari Bapak, ku terima ucapan selamat darinya, membanggakan, sangat. Tapi ada sesak yang diam-diam aku sembunyikan, 

“Maaf pak, anakmu masih akan jadi beban”

Euforia masa wisuda berlalu, aku semakin tak tahu harus jadi apa aku. Ku tengok isi dompetku, hanya ada beberapa ribu. Mau tidak mau tabungan sekian tahun lalu harus rela untuk dipecah untuk menghidupiku. Tabungan sekian juta itu kembali membuatku termangu dan kembali kelabu. Pikiranku terus tertuju pada satu nama yang selalu berhasil menjadi sirine di kepala, Bapak. Entah harus berapa ratus kata terima kasih yang harus aku sampaikan pada Bapak atas seluruh do’a, dukungan, dan dorongan yang tiada henti ia hadirkan. Sesosok laki-laki yang dulu pernah paling aku benci karena ratusan absensi yang dulu pernah ia lakukan. Kalau boleh aku bertanya aku ingin sekali bertanya padanya tentang bagaimana ia berhasil keluar dari masa-masa membingungkannya. Bagaimana ia melewati segala bentuk gamang yang pernah hadir di hidupnya, bagaimana ia akhirnya dapat teguh mencintai Ibu. Bagiamana dan bagaimana, ya hanya jawaban bagaimana yang dibutuhkan seorang cucu adam yang sedang hilang arahnya.

Kisah cinta yang berantakan, masa lalu yang menyakitkan, masa depan yang tak pernah pasti, segala perubahan yang kadang terlalu susah untuk dikendalikan membuatku, hmm ... muak. Hidup rasanya menjadi jauh lebih menyeramkan daripada sebuah kematian, maaf.

“Pak, aku berhenti melawan dunia, aku sadar aku adalah bagiannya, bagaimana mungkin aku yang kerdil, dungu, dan sok tahu mampu melawannya. Bukan aku lemah pak, bukan. Tapi ini batasku, batas yang selama ini ingin ku dobrak tapi akhirnya akulah yang menjatuhkan diriku sendiri, tergeletak di aspal jalan, terseok, dan terus bangkit dengan kondisi yang entah”

Akhirnya aku memutuskan. 

Maaf, jika keputusan ini membuat Bapak kecewa, aku masih ingin menimba ilmu, menggali dalamnya sumur pengetahuan. Tidak apa kan, Pak? Jika aku masih belum mampu mengajakmu makan di restoran berbintang? Belum mampu membelikanmu baju? Belum mampu mengajakmu jalan-jalan? Aku hanya sedang berantakan pak, tapi percaya saja aku bukan berandalan. Aku tidak akan macam-macam, mungkin belum Pak, belum untuk saat ini.

tapi suatu saat nanti,

akan Pak, 

pasti.

Ruang tunggu Bandara Internasional Ngurah Rai,

 09/11-2020

“Maaf aku  benar-benar belum  bisa pulang”

 


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

In Order to Fall in Love with Myself – Again

Being single for quite a long time has opened a new chapter of my life, the loss of confidence in rebuilding a relationship. Love once felt so simple, coming naturally, without much drama. Now, my life is filled with heavier things. Aging, a world that keeps moving faster, post college debts waiting to be paid, and work that seems endless have taught me to manage myself more wisely. Youngerself Yap, Life hasn’t been quiet. As I get older, I feel like the world is getting louder and busier, while I’m trying to keep up. Somewhere along the way, the idea of falling in love started to feel less important, maybe even impossible, hahaha. Alfa, when will you take the next step? ” - It means finding love again. But am I ready? He was so confident with his imperfection I paused when I heard that question. I stood in front of the mirror, staring at myself, trying to find answers. But instead of clarity, I felt something else, fear. Not fear of being alone, but fear of opening myself up a...

25 LITER

Bagi saya mengajar adalah perihal yang tidak hanya sebatas berdiri didepan kelas, menjelaskan, kemudian selesai. Mengajar adalah perihal yang lebih daripada itu, tak hanya melibatkan kepala namun sejatinya mengajar melibatkan pula hati didalamnya. Pengajar yang belum bisa mengajar itu salah tapi yang lebih salah lagi adalah sistem yang membiarkan pengajar yang tidak bisa mengajar itu mengajar. “Tapi bukankah bisa learning by doing ?” “Dulu Bro Alfa juga awal-awal ngajar   juga pasti nggak kompeten, kan?” “There’s no one who deserves at first, Bro” Semenjak menjadi kepala divisi kelas ada satu hal yang akhirnya terjawab atas pertanyaan-pertanyaan diatas. Jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar tentu titik awal saya adalah belajar, kemudian saya mengambil kesempatan-kesempatan untuk mengajar dengan menjadi sukarelawan pada beberapa kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan dunia pengajaran selain itu membangun relasi dengan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar ada...

The First Step of Learning Leadership – Badan Eksekutif Mahasiswa

  Ever since I started taking on roles in classes, organizations, and companies, I’ve often asked myself: What does it take to be a good leader? For a long time, I didn’t know the answer. I first learned basic leadership skills when I became the class secretary. That was when I practiced talking to both classmates and teachers. Later, at university, I became the class representative, which taught me about how the system worked in my department. My skills grew even more when I was chosen as Kabid Penalaran dan Keilmuan in the Badan Eksekutif Mahasiswa at Bali State Polytechnic, where I led a team of six people. Now, I feel lucky to be the head of a division in the institution where I work, and I see it as a gift from God. Through these experiences, I’ve faced many challenges working with different people. As a leader, I’ve learned to communicate well with my superiors and my team, both one on one and in groups. These experiences have shaped the way I talk and work with others, ...