Skip to main content

25 LITER


Bagi saya mengajar adalah perihal yang tidak hanya sebatas berdiri didepan kelas, menjelaskan, kemudian selesai. Mengajar adalah perihal yang lebih daripada itu, tak hanya melibatkan kepala namun sejatinya mengajar melibatkan pula hati didalamnya. Pengajar yang belum bisa mengajar itu salah tapi yang lebih salah lagi adalah sistem yang membiarkan pengajar yang tidak bisa mengajar itu mengajar.

“Tapi bukankah bisa learning by doing?”

“Dulu Bro Alfa juga awal-awal ngajar  juga pasti nggak kompeten, kan?”

“There’s no one who deserves at first, Bro”

Semenjak menjadi kepala divisi kelas ada satu hal yang akhirnya terjawab atas pertanyaan-pertanyaan diatas. Jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar tentu titik awal saya adalah belajar, kemudian saya mengambil kesempatan-kesempatan untuk mengajar dengan menjadi sukarelawan pada beberapa kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan dunia pengajaran selain itu membangun relasi dengan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar adalah hal penting yang tidak boleh dilewatkan. Saya memutuskan untuk menjadi petugas kebesihan disalah satu lembaga pendidikan dengan harapan saya bisa membangun relasi dengan para pengajar disana sekalian menunggu kesempatan agar suatu saat saya bisa berdiri didepan kelas, menjelaskan, dan menggelari diri saya sebagai seorang pengajar. Kegaiatan sebagai petugas kebersihan, sukarelawan pengajar study club malam, juga sebagai seorang siswa saya lakoni bukan tanpa sebab. Saya percaya bahwa ini adalah proses saya memantaskan diri dengan profesi yang ingin saya cintai.

Selama menjadi pengajar study club malam hari, saya merasa bahwa saya telah mencurahkan segala bentuk dedikasi yang saya punya bukan karena saya ingin mendapatkawan tawaran untuk bisa mengajar di main class, tapi saya merasa senang dengan apa yang saya kerjakan meskipun terbesit sedikit keinginan tawaran tersebut ada. Nyatanya, kesempatan itu tidak kunjung tiba. Apakah saya sedih? Mengutuk lembaga tempat saya mengabdi? Tidak. Saya mencintai lembaga pendidikan ini. Saya masih menjaga hubungan baik dengan karyawan, pengajar, bahkan owner dari lembaga ini. Hal yang saya sadari adalah warna mengajar saya yang mungkin berbeda hingga akhirnya saya memutuskan untuk melamar di lembaga pendidikan lainnya. Apakah saya melakukannya diam-diam? Tidak. Saya pun meminta restu owner lembaga pendidikan saya mengabdi dan beliau merestui dengan ucapan “selamat berkarya”

Satu hari sebelum saya melaksanakan wawancara, saya merenung dengan hebat tentang kemampuan serta kepantasan yang saya miliki dan hasilnya saya tidak melamar posisi sebagai pengajar di main class atas dasar ilmu yang saya punya masih begitu miskinnya, melainkan pengajar di asrama. Ternyata, saya tidak seburuk yang saya kira. Periode pertama mengajar di asrama saya langsung menyabet gelar best camp tutor dan ini adalah langkah dimana saya meyakini bahwa warna saya ternyata ada disini, tempat dimana saya membangun karir dari menjadi pengajar di asrama, pengajar dikelas, hingga dipercaya untuk memegang jabatan kepala divisi asrama dan berpindah lagi menjadi kepala divisi kelas. Mungkin ini yang disebut sebagai “kolam yang tepat” dalam bukunya Erick Barker yang berjudul Barking up the wrong tree.

Sebagai seorang kepala divisi sering kali saya menerima pernyataan negatif tentang bagaimana para pengajar di asrama bisa mendapatkan pengalaman mengajar yang lebih jika mereka tidak mendapatkan kesempatan mengajar di main class?  Mengapa rangkaian training dan microteaching dibuat sedemikian kompleksnya hanya untuk mendapatkan posisi di main class?  Apakah main class seseram itu? kan bisa learning by doing.

Learning by doing sebenarnya adalah garis mulai. Sebelum ke garis mulai ini, apakah kita sudah siap untuk menuju puncak atau belum adalah pertanyaan yang harus benar-benar dijawab. Ibaratkan kita akan melakukan pendakian menuju puncak gunung, dari lereng gunung menuju puncak membutuhkan air sebanyak 50 liter tapi ditengah-tengah terdapat sumber air dimana kita bisa mengisi perbekalan air kita dan dari lereng gunung menuju sumber air diperlukan 25 liter. Jadi kesiapan untuk memulai perjalanan learning by doing adalah bukan 50 liter air tapi 25 liter air. Itu adalah alasan mengapa rangkaian training dan microteaching lahir. Ketika sistem membiarkan orang-orang dengan perbekalan air kurang dari 25 liter berangkat menuju puncak, kemungkinan terburuk lebih besar untuk terjadi daripada baiknya. Maka jika sudah mengikuti proses namun belum juga sampai, kejarlah 25 litermu agar selamat sampai puncak nanti.

Sebagai kepala divisi, tidak hanya satu kali saya membaca komentar siswa dari angket yang disebarkan tiap akhir period atau bahkan menghadapi orang tua yang mengeluh, murid yang datang ke kantor kemudian mengeluhkan penagajaran dikelasnya pun sudah kenyang saya makan. Training dan microteaching adalah serangkaian proses memantaskan diri untuk berada di stage of learning by doing.

Bukan karena ingin mempersulit, tapi menyelamatkanmu dari kemungkinan buruk dikemudian hari.

Maka jalanilah dengan penuh sukacita dan selamat mengarungi petualanganmu menjadi seorang pengajar yang hebat.

Juga izinkan kami, agar selalu kuat mendampingimu menuju 25 litermu.

Comments

Popular posts from this blog

In Order to Fall in Love with Myself – Again

Being single for quite a long time has opened a new chapter of my life, the loss of confidence in rebuilding a relationship. Love once felt so simple, coming naturally, without much drama. Now, my life is filled with heavier things. Aging, a world that keeps moving faster, post college debts waiting to be paid, and work that seems endless have taught me to manage myself more wisely. Youngerself Yap, Life hasn’t been quiet. As I get older, I feel like the world is getting louder and busier, while I’m trying to keep up. Somewhere along the way, the idea of falling in love started to feel less important, maybe even impossible, hahaha. Alfa, when will you take the next step? ” - It means finding love again. But am I ready? He was so confident with his imperfection I paused when I heard that question. I stood in front of the mirror, staring at myself, trying to find answers. But instead of clarity, I felt something else, fear. Not fear of being alone, but fear of opening myself up a...

Entah

  Cara terbaik untuk bersembunyi dari kekecewaan adalah dengan terus menjadi sibuk. Pulang adalah tentang kesiapan, kesiapan untuk menerima bahwa aku tidaklah lahir dari keluarga yang baik-baik saja. Kesiapan untuk menerima kenyataan bahwa aku hanyalah si miskin yang lemah yang terus mencoba menolong si miskin lainnya padahal kalau ada seseorang yang harusnya mendapat pertolongan, ialah aku yang harusnya berada digarda terdepan. Pak, Bu, Mbah, maafkan aku yang masih terlalu angkuh menolak darimana sebenarnya asal-usulku. Aku ini petualang, yang ingin berpetualang melihat dunia luar. Ingin terus mengenyam pendidikan tapi keternyataan bahwa aku juga orang yang engkau butuhkan selalu berhasil membuatku ingin kembali kembali ke diri ini yang kumal hidup diantara tikus-tikus yang berkeliaran. Hari ini adalah hari yang terlampau pilu, dipukul realita bahwa aku masihlah manusia bisu dihadapanmu semua menjadi kaku berbeda ketika aku berdiri dihadapan banyak orang. Didepan murid-muridku...