Bagi saya mengajar adalah perihal yang tidak hanya sebatas berdiri didepan kelas, menjelaskan, kemudian selesai. Mengajar adalah perihal yang lebih daripada itu, tak hanya melibatkan kepala namun sejatinya mengajar melibatkan pula hati didalamnya. Pengajar yang belum bisa mengajar itu salah tapi yang lebih salah lagi adalah sistem yang membiarkan pengajar yang tidak bisa mengajar itu mengajar.
“Tapi bukankah bisa learning by doing?”
“Dulu Bro Alfa juga awal-awal
ngajar juga pasti nggak kompeten, kan?”
“There’s no one who deserves at
first, Bro”
Semenjak menjadi kepala divisi
kelas ada satu hal yang akhirnya terjawab atas pertanyaan-pertanyaan diatas.
Jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar tentu titik awal saya adalah belajar,
kemudian saya mengambil kesempatan-kesempatan untuk mengajar dengan menjadi
sukarelawan pada beberapa kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan dunia
pengajaran selain itu membangun relasi dengan orang-orang yang berprofesi
sebagai pengajar adalah hal penting yang tidak boleh dilewatkan. Saya
memutuskan untuk menjadi petugas kebesihan disalah satu lembaga pendidikan
dengan harapan saya bisa membangun relasi dengan para pengajar disana sekalian
menunggu kesempatan agar suatu saat saya bisa berdiri didepan kelas,
menjelaskan, dan menggelari diri saya sebagai seorang pengajar. Kegaiatan
sebagai petugas kebersihan, sukarelawan pengajar study club malam, juga sebagai seorang siswa saya lakoni bukan
tanpa sebab. Saya percaya bahwa ini adalah proses saya memantaskan diri dengan
profesi yang ingin saya cintai.
Selama menjadi pengajar study club malam hari, saya merasa bahwa
saya telah mencurahkan segala bentuk dedikasi yang saya punya bukan karena saya
ingin mendapatkawan tawaran untuk bisa mengajar di main class, tapi saya merasa senang dengan apa yang saya kerjakan
meskipun terbesit sedikit keinginan tawaran tersebut ada. Nyatanya, kesempatan
itu tidak kunjung tiba. Apakah saya sedih? Mengutuk lembaga tempat saya
mengabdi? Tidak. Saya mencintai lembaga pendidikan ini. Saya masih menjaga
hubungan baik dengan karyawan, pengajar, bahkan owner dari lembaga ini. Hal
yang saya sadari adalah warna mengajar saya yang mungkin berbeda hingga
akhirnya saya memutuskan untuk melamar di lembaga pendidikan lainnya. Apakah
saya melakukannya diam-diam? Tidak. Saya pun meminta restu owner lembaga pendidikan saya mengabdi dan beliau merestui dengan
ucapan “selamat berkarya”
Satu hari sebelum saya
melaksanakan wawancara, saya merenung dengan hebat tentang kemampuan serta
kepantasan yang saya miliki dan hasilnya saya tidak melamar posisi sebagai
pengajar di main class atas dasar
ilmu yang saya punya masih begitu miskinnya, melainkan pengajar di asrama.
Ternyata, saya tidak seburuk yang saya kira. Periode pertama mengajar di asrama
saya langsung menyabet gelar best camp
tutor dan ini adalah langkah dimana saya meyakini bahwa warna saya ternyata
ada disini, tempat dimana saya membangun karir dari menjadi pengajar di asrama,
pengajar dikelas, hingga dipercaya untuk memegang jabatan kepala divisi asrama
dan berpindah lagi menjadi kepala divisi kelas. Mungkin ini yang disebut
sebagai “kolam yang tepat” dalam bukunya Erick
Barker yang berjudul Barking up the
wrong tree.
Sebagai seorang kepala divisi
sering kali saya menerima pernyataan negatif tentang bagaimana para pengajar di
asrama bisa mendapatkan pengalaman mengajar yang lebih jika mereka tidak mendapatkan
kesempatan mengajar di main class? Mengapa rangkaian training dan microteaching
dibuat sedemikian kompleksnya hanya untuk mendapatkan posisi di main class? Apakah main
class seseram itu? kan bisa learning
by doing.
Learning by doing sebenarnya adalah garis mulai. Sebelum ke garis
mulai ini, apakah kita sudah siap untuk menuju puncak atau belum adalah
pertanyaan yang harus benar-benar dijawab. Ibaratkan kita akan melakukan
pendakian menuju puncak gunung, dari lereng gunung menuju puncak membutuhkan
air sebanyak 50 liter tapi ditengah-tengah terdapat sumber air dimana kita bisa
mengisi perbekalan air kita dan dari lereng gunung menuju sumber air diperlukan
25 liter. Jadi kesiapan untuk memulai perjalanan learning by doing adalah bukan 50 liter air tapi 25 liter air. Itu
adalah alasan mengapa rangkaian training dan microteaching lahir. Ketika sistem
membiarkan orang-orang dengan perbekalan air kurang dari 25 liter berangkat
menuju puncak, kemungkinan terburuk lebih besar untuk terjadi daripada baiknya.
Maka jika sudah mengikuti proses namun belum juga sampai, kejarlah 25 litermu
agar selamat sampai puncak nanti.
Sebagai kepala divisi, tidak
hanya satu kali saya membaca komentar siswa dari angket yang disebarkan tiap
akhir period atau bahkan menghadapi orang tua yang mengeluh, murid yang datang
ke kantor kemudian mengeluhkan penagajaran dikelasnya pun sudah kenyang saya
makan. Training dan microteaching adalah serangkaian proses memantaskan diri
untuk berada di stage of learning by
doing.
Bukan karena ingin mempersulit, tapi menyelamatkanmu dari kemungkinan buruk
dikemudian hari.
Maka jalanilah dengan penuh sukacita dan selamat mengarungi petualanganmu
menjadi seorang pengajar yang hebat.
Juga izinkan kami, agar selalu kuat mendampingimu menuju 25 litermu.
Comments
Post a Comment