Skip to main content

Anulir

,

“God has already prepared a way. 
God is just preparing you.”



This ain't in Pare but the vibe is similar to the place i am in now.

Hari ini saya sedang duduk disebuah café tempat saya biasa bersembunyi selepas menghabiskan energy di kelas, di asrama, dan di begitu banyakya keterhubungan dengan manusia-manusia lainnya. Saya selalu takut, takut lupa cara terhubung dengan diri sendiri sebab terlalu banyak terhubung dengan orang lain. Belakangan saya menyadari bahwa café kecil ini sudah menjadi tempat saya mengelaborasi perasaan-perassan yang sedari pagi bergulat dan entah harus ditumpahkan kemana dan pada siapa. Café yang tidak terlalu ramai dengan harga yang cukup merakyat mampu menarik saya untuk kembali sekali, dua kali, hingga berkali-kali. Cukup dengan sebelas ribu rupiah, saya bisa mendapatkan secangkir robusta dan sosis bakar yang menemani saya menganulir segala resah dikepala. Lokasinya yang cukup terpojok dari jantung Kampung Inggris membuat saya betah karena hampir tidak pernah saya jumpai murid-murid saya dikelas, atau teman-teman lainnya yang artinya, saya bebas dari keterhubungan dengan orang lain. Saya bisa terhubung dengan diri saya sendiri dengan semena-menanya. Melahap kalimat-kalimat dalam buku, bermain jemari diatas keyboard seperti saat ini, atau barang sekedar mendengarkan musik favorit tanpa gangguan, tanpa gumaman.

Lagi-lagi, tentang menjadi dewasa. Menjadi dewasa nyatanya sebegini menyesakannya. Dikepung pergolakan-pergolakan yang beruntun. Kadang merasa bahwa dunia sedang tidak menuntun, ia dengan telunjuk tegasnya menuntut hingga saya lupa batas antara mengusahakan dan memaksakan itu letaknya dimana. Saya terus mencari, membelah belukar, menanjak, menurun, berkelok, terseok, jatuh, bangkit, merangkak, kemudian tersesat. Ah, taik! Kepala rasanya tidak lagi hanya ditumbuhi rambut, tumbuh pula rumput, jembut, dan jamput! Sesekali, ah! Tidak! Seringkali. Seringkali, saya bersawala dengan begitu banyak hal. Tentang langit dan penghuninya, tentang do’a-do’a yang dilayangkan perginya kemana, tentang keputusan-keputusan yang tak pernah tahu salah-benarnya.

Hati ini terlalu ringkih untuk dapat memvalidasi jawaban dari manusia yang dilabeli sebagai influencer itu dalam sebuah acara talkshow. I wish I would be able to be as wise as he is but the truth is I am not that strong to be called as a wise man. Hati ini terlalu kotor untuk tidak mengutuk-ngutuki langit, menentang-nentang kehendaknya. Rasanya melawan arus mati, mengikuti arus pula demikian. Lalu?

“Adakah hal yang lo sesali dimasa lalu?”

“Nggak! Gue percaya bahwa apapun yang terjadi dimasa lalu adalah hal yang ngebentuk gue hari ini. Baik-buruknya, manis-pahitnya udah gue terima, apapun itu.”

Wow! Saya rasanya terpukul, sejenak saya berfikir, benar juga. Tapi, penyangkalan-penyangkalan tidak bisa dielakan. Lagi dan lagi hati ini masih terlalu kotor untuk tidak berandai-andai tentang konsep seandainya yang terus menggerus. “Seandainya dulu aku begini maka aku akan begini.” Dan begitu seterusnya hingga semua bermuara pada kubikel kecil bernama penyesalan dengan ujung “I wish I would be able to be as wise as he is”

Seperti tukang cukur langganan saya di Jalan Brawijaya. Ia berhasil memecahkan segala bentuk permasalahan rambut saya, model potongan yang sesuai dengan wajah saya, dan berbagai kemauan saya. Pertanyaannya adalah bisakah dia memotong rambutnya sendiri? Hahaha Seringkali dengan mudahnya saya memberikan beberapa nasehat pada teman-teman yang entah mengapa menaruh kepercayaannya untuk menceritakan masalah-masalah hidupnya pada saya. Dengan lugas sayang akan berbicara bahwa seberdarah apapun kita menangisi masa lalu, ia tak akan pernah dapat dikembalikan waktu. Biarkan, belajar, kemudian lanjutkan. Tapi kenapa nasehat ini seperti terpental jauh bagi saya. Sungguh, betapa omong kosongnya diri ini. Ah!

Sekarang tepat pada arah jam satu dari tempat saya duduk saya ditunjukan sebuah goodie bag yang ditenteng mbak-mbak yang baru saja datang mengisi kursi kosong disana. Tertulis “God has already prepared a way. God is just preparing you.” Saya bukan manusia yang terlalu religius untuk kemudian meng-amini dan berhenti. Saya akan terus bertanya jika begitu maka apakah sebenarnya konsep salah langkah itu benar-benar ada? Apakah semua konsep penyesalan harusnya tidak ada? Jika apa-apa, semua-semua digantungkan pada yang sudah termaktubkan? Lalu mereka, yang termarjinalkan apakah bagian dari rencana-rencana-Nya? Hah? Ndasku mumet! Kemudian menyadari bahwa kepala ini isinya dipenuhi dengan begitu banyaknya keterbatasan. Dibiarkan jadi hancur, dipikirkan tak juga luntur. Maka biarkan saya memilih untuk melebur bersama secangkir robusta yang sisa seperempat cangkir disebelah kanan saya.

Anyway, minggu depan udah lebaran?

Alfa, pulang?


Comments

Popular posts from this blog

In Order to Fall in Love with Myself – Again

Being single for quite a long time has opened a new chapter of my life, the loss of confidence in rebuilding a relationship. Love once felt so simple, coming naturally, without much drama. Now, my life is filled with heavier things. Aging, a world that keeps moving faster, post college debts waiting to be paid, and work that seems endless have taught me to manage myself more wisely. Youngerself Yap, Life hasn’t been quiet. As I get older, I feel like the world is getting louder and busier, while I’m trying to keep up. Somewhere along the way, the idea of falling in love started to feel less important, maybe even impossible, hahaha. Alfa, when will you take the next step? ” - It means finding love again. But am I ready? He was so confident with his imperfection I paused when I heard that question. I stood in front of the mirror, staring at myself, trying to find answers. But instead of clarity, I felt something else, fear. Not fear of being alone, but fear of opening myself up a...

25 LITER

Bagi saya mengajar adalah perihal yang tidak hanya sebatas berdiri didepan kelas, menjelaskan, kemudian selesai. Mengajar adalah perihal yang lebih daripada itu, tak hanya melibatkan kepala namun sejatinya mengajar melibatkan pula hati didalamnya. Pengajar yang belum bisa mengajar itu salah tapi yang lebih salah lagi adalah sistem yang membiarkan pengajar yang tidak bisa mengajar itu mengajar. “Tapi bukankah bisa learning by doing ?” “Dulu Bro Alfa juga awal-awal ngajar   juga pasti nggak kompeten, kan?” “There’s no one who deserves at first, Bro” Semenjak menjadi kepala divisi kelas ada satu hal yang akhirnya terjawab atas pertanyaan-pertanyaan diatas. Jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar tentu titik awal saya adalah belajar, kemudian saya mengambil kesempatan-kesempatan untuk mengajar dengan menjadi sukarelawan pada beberapa kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan dunia pengajaran selain itu membangun relasi dengan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar ada...

The First Step of Learning Leadership – Badan Eksekutif Mahasiswa

  Ever since I started taking on roles in classes, organizations, and companies, I’ve often asked myself: What does it take to be a good leader? For a long time, I didn’t know the answer. I first learned basic leadership skills when I became the class secretary. That was when I practiced talking to both classmates and teachers. Later, at university, I became the class representative, which taught me about how the system worked in my department. My skills grew even more when I was chosen as Kabid Penalaran dan Keilmuan in the Badan Eksekutif Mahasiswa at Bali State Polytechnic, where I led a team of six people. Now, I feel lucky to be the head of a division in the institution where I work, and I see it as a gift from God. Through these experiences, I’ve faced many challenges working with different people. As a leader, I’ve learned to communicate well with my superiors and my team, both one on one and in groups. These experiences have shaped the way I talk and work with others, ...