![]() |
Memimpin acara perpisahan dengan Siswa dan Masyarakat Desa Sekardadi dalam Kakak Asuh 2018 |
Bali, dengan segala pesonanya, bukan
hanya menawarkan keindahan yang memanjakan mata, tetapi juga menghadirkan ruang
bagi jiwa untuk bertumbuh. Di antara aroma dupa yang menyatu dengan udara pagi,
suara gamelan yang mengalun dari pura-pura kecil di sudut jalan, dan senyum
tulus yang tak pernah absen dari wajah penduduknya, aku menemukan pelajaran
yang lebih dalam dari sekadar lanskap eksotis atau ritual sakral.
Aku datang ke Bali dengan membawa
pemahaman yang sudah tertata rapi tentang dunia, tentang agama, perbedaan, dan
keyakinan. Tapi ternyata, pulau ini memiliki caranya sendiri untuk mengajarkan
sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Salah satu pengalaman yang paling
membekas dalam ingatanku terjadi saat bulan Ramadhan, ketika aku bergabung
dalam kegiatan Kakak Asuh, sebuah program sosial yang bertujuan
memberikan pelatihan bagi anak-anak sekolah di pedesaan Bali. Kegiatan ini
bukan hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga menuntut kesabaran dan
kebesaran hati. Di sinilah aku menemukan bahwa memahami perbedaan tidak selalu
berarti mencari persamaan, melainkan menerima bahwa kita memang berbeda, dan
dari sanalah kita belajar.
Beberapa bulan sebelum pelaksanaan program, aku dan tim panitia melakukan survei ke sekolah-sekolah di pelosok Bali, tempat yang jauh dari gemerlap turisme, tempat di mana kehidupan berjalan dalam ritme yang berbeda. Di sana, aku melihat sisi lain dari Bali yang jarang diceritakan. Sekolah-sekolah dengan bangunan tua, beberapa jendela pecah yang dibiarkan begitu saja, dan ruang kelas dengan bangku yang sebagian besar sudah goyah. Jumlah murid di beberapa sekolah bahkan bisa dihitung dengan jari, kontras dengan bayangan Bali sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Tapi ini bukan hanya tentang
sekolah-sekolah itu. Ini tentang perjalanan dan pelajaran yang kutemukan di
sepanjang jalan.
Saat itu, aku adalah satu-satunya
Muslim di tim panitia. Kami menghabiskan hari dengan menempuh perjalanan
panjang, melintasi jalan-jalan kecil yang jarang dilalui, dan berpindah dari satu
sekolah ke sekolah lain. Hingga akhirnya, di tengah siang yang terik, kami
memutuskan untuk berhenti di sebuah warung makan.
“Eh, cari tempat lain aja, Alfa
nggak boleh makan babi,” ujar Nita, ketua panitia, tiba-tiba.
Aku sedikit terkejut dengan perhatiannya,
lalu tersenyum. “Eh, nggak papa. Aku puasa.”
Namun, mereka tetap terlihat ragu.
“Al, ini nggak apa-apa kalau kami makan?”
Aku tertawa kecil. “Santai, gen. Tak
tergoda imanku. Mending kalian makan babi aja, biar aku nggak tergoda.”
Kami pun tertawa bersama. Tapi saat
makanan tiba, aku bisa melihat kegelisahan di wajah mereka. Mereka tampak
canggung, takut aku tergoda dengan suara es batu yang beradu di dalam gelas,
menciptakan dentingan menggoda yang mereka tahu akan sulit ditahan di tengah
panasnya siang Bali.
Beberapa teman laki-laki mulai
menggoda, mengangkat gelasnya dengan penuh kenikmatan. “Seger ajan, Nok. Es
tehnya.”
Yang lain menegur, “Nggak boleh
gitu.”
Aku hanya tersenyum. Aku tahu mereka
hanya bercanda, dan bagiku, gangguan kecil seperti ini bukanlah ujian yang
berat. Bukankah puasa sejatinya bukan sekadar menahan haus dan lapar, tapi juga
mengendalikan hati?
Menemukan
Makna dalam Keyakinan Orang Lain
Di tengah suasana makan siang itu,
aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan sesuatu yang sejak awal
menarik perhatianku: banten. Sesajen kecil yang hampir selalu kulihat di
setiap sudut Bali, bahkan di tempat-tempat tak terduga seperti di atas motor.
“Kak, kenapa motor juga dikasih
banten?” tanyaku, setengah penasaran.
Salah satu dari mereka menjelaskan,
“Di Bali ada yang namanya otonan. Itu semacam peringatan hari lahir,
tapi bukan cuma buat manusia. Sawah, kebun, hewan, bahkan benda pun bisa di-otonin.
Nah, kalau yang di motor itu namanya Tumpek Landep.”
“Tapi kenapa motor?” tanyaku lagi.
“Karena motor nemenin kita cari
rezeki, sama kayak keris buat para leluhur zaman dulu. Kita memperlakukan
mereka seperti kita ingin diperlakukan. Supaya berkah juga, kayak dalam
agamamu.”
Aku terdiam. Dalam kepercayaan
mereka, tidak ada yang sekedar benda mati. Setiap sesuatu yang membantu
kehidupan dihargai dan diberi penghormatan. Sebuah cara pandang yang membuatku
merenung lebih dalam.
Salah satu temanku tersenyum. “Masih
banyak, Fa. Di Bali ada Tri Hita Karana, Tat Twam Asi. Nanti kita
cerita lagi.”
Aku tersenyum kembali.
Sejak saat itu, aku mulai melihat Bali dengan cara yang berbeda. Tidak lagi hanya sebagai tempat yang indah untuk dikunjungi, tetapi sebagai ruang pembelajaran yang luas. Aku mulai memahami bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi justru sesuatu yang membuat dunia ini lebih kaya. Aku juga belajar sesuatu yang lebih dalam tentang keyakinanku sendiri. Bahwa dalam setiap perjalanan, iman bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan dengan lingkungan sekitar, melainkan sesuatu yang bisa tumbuh dan mengakar lebih kuat ketika kita benar-benar memahami esensinya.
Dan mungkin, ini baru permulaan.
Masih banyak cerita yang belum
diceritakan, pelajaran yang belum kupelajari, dan pengalaman yang menunggu
untuk kualami.
Comments
Post a Comment