Sebenarnya aku ingin menulis panjang tentang bagaimana aku bisa terdampar di Bekasi setelah memutuskan resign dari kantor di Jakarta, lalu menerima segala bentuk kebaikan dari sekitar. Tapi sebelum jauh ke sana, ada satu hal penting yang aku pelajari hari ini bahwa kita perlu membuka diri dan menunjukkan siapa diri kita, apa aktivitas kita. Bukan untuk validasi, melainkan untuk mencegah stigma dan menjaga kewarasan sekitar.
"Nama baik perlu ditunjukkan, bukan dibiarkan."
Sebelum cerita panjang ini dimulai, izinkan aku menyampaikan permohonan maaf yang paling dalam, juga ucapan terima kasih yang rasanya tak akan pernah cukup dituliskan di sini.
Untuk Hafiz, member di kelas pronun half-ku beberapa tahun lalu, terima kasih sudah menyelamatkanku, sekaligus memberikan pelajaran berharga hari ini.
Here we go ....
Hari ini hari Minggu. Setelah sepekan aku disibukkan dengan segala persembunyian, akhirnya aku jujur bahwa aku kehilangan pekerjaan dan sedang berada di ujung kota Bekasi. Mengabarkan ini pada teman-temanku rasanya berat, ada rasa malu yang menusuk. Tapi sebagai makhluk sosial, aku tidak bisa selamanya bersembunyi.
Setelah beberapa tahun tidak bertemu, story WAS ceunah memancing masyarakat menghubungi dan menanyakan keberadaanku. Panjeeeh yang dulu lebih mirip Genjeeeh salah satu kawan lama kebetulan sedang bertugas beberapa hari di Bekasi Timur. Mengetahui kondisiku yang memprihatinkan, Panji datang membawa sebungkus rokok dan serenteng kopi Kapal Api hitam. Padahal aku sedang program berhenti merokok. Jadi hadiah ini rasanya seperti doa licik “semoga cepat kambuh, bro.” sial! hahaha!
Panji mengajakku pergi ke coffeeshop, tapi ternyata coffeeshop terdekat baru buka jam 4 sore. Sambil menunggu, Panji yang pendiam tapi rada nyeleneh ini malah mengeluarkan sebuah benda out of the box, mini proyektor yang baru dibelinya dari e-commerce. Karena cuaca Bekasi panasnya bisa bikin genteng meleleh, aku mengajaknya mencoba di dalam kamar, menyalakan AC, dan rebahan sebentar.
Dan di situlah, ketololan terjadi.
Si Panji yang tolol ini tiba-tiba memutar hentai, *candaan yang nggak berubah meski uzur udah tiba
Aku langsung kaget, setengah panik, buru-buru menyuruhnya mematikan. Bayangkan saja, Bekasi, kamar terkunci, dua laki-laki, proyektor. Kombo gosip paling sempurna untuk satu RT. Saat itu aku tidak terlalu memikirkan konsekuensinya, yang kupikirkan hanya bagaimana cepat-cepat keluar sebelum terlambat. Kebetulan jam sudah menunjukan pukul 4 sore, jadi kami pun segera bergegas ke coffeeshop.
Tepat di saat bersamaan, Hafiz baru saja tiba dari perjalanannya naik gunung. Di perjalanan menuju coffeeshop, aku mendapat chat panjang dari Hafiz berisi teguran.
Awalnya aku kaget, bahkan agak kesal. Seolah-olah aku dituduh melakukan hal yang tidak-tidak hanya karena pintu terkunci akibat sensor motoriku yang setnya udah otomatis. Tapi aku menahan jari-jariku untuk tidak buru-buru membalas. Aku membaca berulang-ulang pesannya, mencoba menelaah dengan kepala dingin. Dan, semakin kutahan, semakin perasaan bersalah itu tumbuh.
Ada satu kalimat yang begitu menancap:
"Lingkungan itu bisanya berspekulasi. Mau kita ngelakuin hal-hal positif atau hal-hal baik lainnya, mereka akan selalu berpikiran negatif. Aku udah bilang jaga rumah ini sebagaimana Bro menjaga rumah Bro Alfa."
Aku terpukul. Ada marah, ada kecewa tapi bukan pada Hafiz, melainkan pada diriku sendiri. Aku sadar, Hafiz mempercayakan rumah ini padaku. Namun aku gagal menjaga amanah itu.
Sejak awal tinggal di sini, aku memang terlalu tertutup bersembunyi dibalik ke-introvert-anku. Aku enggan membuka diri, takut ditanya macam-macam, takut ada majelis aneh datang tiba-tiba, atau takut gosip aneh menyebar. Semua ketakutan itu hanya berputar di kepalaku. Dan karena itulah aku memilih diam, bersembunyi, tidak menjelaskan siapa aku dan apa yang kukerjakan.
Tapi benar kata Hafiz, lingkungan selalu berspekulasi.
Bahkan kalau aku sedang melakukan hal baik sekalipun, mereka bisa menilainya sebaliknya.
Aku jadi teringat beberapa kasus yang sempat ramai. Ada mahasiswa yang kosnya sepi ternyata sedang merakit bom di kamar, ada kelompok kecil yang pura-pura mengaji tapi ternyata menyebarkan paham radikal, ada rumah tertutup di gang kecil yang ternyata dijadikan tempat ritual sekte gelap, dan baru terbongkar setelah warga curiga karena aktivitasnya serba sembunyi-sembunyi. Semua itu awalnya tampak sepele. Dimulai dari pintu selalu terkunci, tamu jarang terlihat, penghuni jarang bergaul. Tapi dari situlah gosip beranak-pinak, lalu berkembang jadi kecurigaan, sampai akhirnya polisi datang. Aku paham, Hafiz hanya tidak ingin dilabeli jelek oleh sekitar.
Saat aku tinggal di rumah sendiri, mungkin tidak ada masalah karena orang-orang sudah tahu asal-usulku. Tapi di sini, aku hanyalah perantau. Orang asing yang asal-usulnya tidak diketahui. Bahkan hal kecil seperti menutup pintu bisa jadi mirip tanda-tanda “gerakan gelap” di mata orang lain.
"Lesson learned, Alfa." beitulah aku berbicara pada diriku sendiri.
Membangun batas memang perlu. Tapi menutup diri sepenuhnya juga bisa menjadi sumber masalah yang tidak pernah kita duga.
Akhirnya aku membalas pesan Hafiz. Tanpa bantahan, tanpa pembelaan, hanya penjelasan singkat. Aku memilih menerima. Karena dari kejadian ini, aku belajar bahwa menjaga amanah bukan sekadar menghindari kesalahan besar, tetapi juga memastikan lingkungan sekitar merasa aman dengan keberadaan kita.
Sejak hari ini aku membawa pelajaran penting.
Dimanapun aku berada kelak, aku harus belajar membuka diri secukupnya. Menjaga privasi boleh, membangun tembok perlu, tapi membiarkan lingkungan sekitar tahu siapa kita dan apa pekerjaan kita, itu bagian dari tanggung jawab. Itu bukan sekadar basa-basi, itu cara merawat kepercayaan, cara melindungi diri, dan cara menjaga kewarasan bersama.
Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang apa yang kita lakukan di balik pintu tertutup. Hidup adalah bagaimana kita menjaga amanah, bahkan dalam hal-hal yang tampak sepele, agar kita tidak kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar, nama baik.
Maka hari ini aku belajar, menjaga amanah bukan hanya kewajiban moral, tapi juga jalan menuju kedamaian sosial. Karena tanpa itu, perjalanan ini bisa saja runtuh hanya karena segelas kecurigaan.
Comments
Post a Comment