Halo Blogspot! Entah mengapa, setiap kali membuka laman ini, aku selalu merasa seperti pulang ke ruang paling jujur dalam kepalaku. Di sini, tidak ada keharusan untuk memilih diksi yang mengilap, tidak ada tuntutan gaya bahasa yang mencolok, dan tidak ada suara-suara yang meminta agar semuanya terdengar sempurna. Blog ini seperti tempat duduk tua yang nyaman di sudut kafe yang lusuh, tapi selalu bisa menjadi tempat kembali. Dan hari ini, aku ingin bercerita. Tentang sebuah keputusan besar, Resign.
Iya, aku akhirnya resign. Sebuah keputusan yang tidak muncul dalam semalam, tidak juga karena amarah atau kekecewaan sesaat. Justru sebaliknya, keputusan ini datang setelah waktu yang panjang, saat aku mulai merasa bahwa pertumbuhan bukan lagi tentang apa yang bisa kudapat, tapi tentang apa yang bisa kuselami.
Di usia yang kalau dipikir-pikir sudah cukup untuk menyadari bahwa kenyamanan bisa menjadi jebakan yang halus, aku mulai mempertanyakan ulang tentang untuk apa semua ini? Bukan karena pekerjaanku tidak berarti. Justru sebaliknya, di tempat itu aku tumbuh. Di sana aku belajar, tidak hanya menjadi seorang pengajar, tapi juga menjadi seseorang yang dipercaya memimpin. Di ruangan-ruangan itu aku mengenal banyak manusia, banyak semangat, dan banyak tawa juga tangis hehehe. Tapi, seiring waktu, aku juga mulai merasakan kekosongan yang tidak bisa diisi dengan pencapaian semata. Aku mulai mempertanyakan antara kenyamanan dan stagnasi, tentang keselarasan value yang ku punya dan vektor yang ada.
Seperti tanaman yang terus tumbuh di pot yang sama, lama-lama akarnya akan menyesaki wadahnya sendiri. Ia butuh dipindahkan. Bukan karena tanah lamanya buruk, tapi karena ruangnya sudah tidak cukup. Aku mulai merasa seperti itu. Aku masih mencintai apa yang kulakukan, tapi ritmenya mulai tidak selaras dengan detak hatiku, dengan idealismeku. Hari-hari terasa penuh, tapi tidak padat. Sibuk, tapi tidak hidup.
Sebelum mengajukan pengunduran diri, aku sudah lama berdialog dengan diriku sendiri. Berulang kali. “Kenapa kamu mengajar?” “Kenapa kamu menerima tanggung jawab sebagai kepala divisi?” “Apa yang kamu kejar sebenarnya?” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bukan untuk membatalkan langkahku, tapi untuk memastikan bahwa aku tidak lari, melainkan benar-benar berjalan ke arah yang baru. Aku tahu, terlalu banyak orang yang menunda karena menunggu jaminan. Padahal hidup tidak pernah menyediakan garansi.
Ada satu bagian lucu dari kisah ini. Ketika aku akhirnya mendapat tawaran pekerjaan baru di Bali, aku merasa itu adalah sinyal semesta. Jadi tanpa pikir panjang, aku ajukan resign. Namun lucunya, setelah surat tawaran resmi keluar, benefit-nya ternyata tidak seindah yang kubayangkan hahahaha. Bahkan bisa dibilang timpang dengan apa yang sudah kumiliki. Tapi pengunduran diriku sudah diajukan. Penggantiku sedang disiapkan. Jalan kembali sudah tidak lagi ada. Dan tolol kuadratnya adalah aku menolak offeringnya hahahaha. Nah!
Beberapa orang bilang aku nekat. Bahkan tolol. “Belum lunas kuliah, laptop masih dicicil, ijazah belum ditebus, kamu malah resign?” Mungkin mereka benar. Tapi hidup tidak selalu bisa dihitung dengan kalkulasi matematis. Ada jenis keberanian yang tidak bisa ditimbang dengan angka. Kadang kita memang perlu mengambil keputusan bukan karena kita yakin sepenuhnya, tapi karena kita percaya bahwa stagnasi lebih menakutkan daripada kegagalan.
Meskipun disini aku belajar bagaimana rasanya dipercaya, bagaimana menyusun program dari nol, bagaimana menghadapi manusia dengan segala kompleksitasnya. Aku bertumbuh, dan semua yang aku punya hari ini. Tapi seperti buku yang telah selesai kubaca, mungkin memang saatnya aku berpindah halaman. Bukan karena tak suka ceritanya, tapi karena aku ingin tahu apa yang terjadi di bab berikutnya.
Dalam psikologi yang pernah kubaca serampangan, ada satu fase di mana manusia mulai merasa gelisah jika tidak lagi mengalami pertumbuhan. Fase ini sering disebut sebagai “mid-transition anxiety.” Gelisah tanpa tahu sebab. Capek tapi tidak lelah. Dan di sanalah aku berada. Merasa penuh tapi kosong. Rasanya seperti mendengar lagu kesukaan yang diputar berulang kali yang lama-lama tidak lagi membuat jantung berdebar. Di situ aku tahu, sudah waktunya berpindah.
Hari-hari setelah resign, tentu tidak semulus yang dibayangkan. Tapi justru di situlah aku bisa kembali ke hal-hal yang dulu kulupakan. Menulis, membaca ulang catatan-catatan tua, membuka kembali peluang-peluang yang sempat tertutup karena terlalu sibuk memenuhi peran. Aku tidak punya semua jawaban hari ini, tapi aku sedang belajar menikmati proses mencari.
Ada yang bilang, hidup itu bukan soal siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang tidak takut untuk berhenti sejenak dan menanyakan: "Aku masih di jalurku nggak, ya?" Dan hari ini, aku sedang bertanya itu pada diriku sendiri. Bukan untuk meragukan perjalanan yang sudah kulalui, tapi untuk memastikan bahwa langkah berikutnya tetap selaras dengan tujuanku yang sebenarnya.
Mungkin ini bukan akhir cerita. Mungkin ini hanya jeda sebelum kalimat baru ditulis.
Comments
Post a Comment