Tahun 2025 datang seperti pukulan telak di wajah. Bukan hanya pukulan, tapi rentetan tinju tanpa jeda. Aku tidak sedang hidup dalam film sedih dengan musik lembut di belakang layar. Aku hidup di kenyataan yang bau, keras, dan menjijikkan. Babak ini membuatku paham betul bagaimana rasanya diludahi dunia tanpa kesempatan untuk membalas.
Semua dimulai dari kabar seorang perempuan yang dulu aku yakini akan berjalan bersamaku sampai akhir. Dia menikah. Dan bukan dengan orang asing, tapi dengan seseorang yang pernah nongkrong bareng denganku. Rasanya seperti ditikam dari belakang lalu dipaksa tersenyum di depan orang-orang. Aku yang selama ini hidup di zona abu-abu akhirnya dipaksa melihat warna asli kehidupan: hitam pekat. Jujur, sampai sekarang aku masih menyalahkan diri sendiri seperti idiot. Aku bersembunyi di balik ketidakdewasaanku, menipu diri sendiri seolah aku kuat. Kupikir dia perempuan tangguh yang siap menunggu, tapi ternyata akulah lelaki tolol dengan ambisi rapuh yang bahkan tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Aku bisa apa?
Belum selesai luka itu, Jakarta datang dengan wajah paling menjijikkannya. Kota ini bukan ibu yang mengasuh. Jakarta adalah mesin penggiling daging yang menghancurkan siapa pun yang tidak punya tenaga. Aku bangun setiap pagi dengan napas berat, berharap udara bisa sedikit lebih ringan, tapi yang masuk hanya debu dan beban. Dari Ibu, aku mendapat kabar rumah masa kecilku dijual. Bukan karena Ibu ingin, tapi karena keegoisan seseorang yang sampai sekarang entah masih pantaskah kusebut saudara atau tidak. Rumah itu satu-satunya tempat yang menyimpan sisa diriku yang asli yang kugantungkan mimpi, bisnis, cita-cita kedepannya. Sekarang hilang. Apa aku masih punya alasan untuk pulang? Apa aku masih punya rumah? Rasanya seperti dibuang tanpa diberi peta. Aku bisa apa?
Belum selesai. Masalah finansial menyeretku semakin dalam. Aku tidak punya pekerjaan tetap, hutang masih mengikat leherku seperti tali yang makin kencang setiap kali aku mencoba bernapas. Aku terdampar di kota orang, hidup dari sisa-sisa semangat yang bahkan sudah busuk di dalam kepalaku. Aku membuka kursus bahasa Inggrisku lagi, berpikir itu bisa jadi jalan keluar. Tapi lagi-lagi kekecewaan datang. Seorang rekan lama menuduhku menggunakan nama brand yang ia rencanakan. Padahal jauh sebelum diskusi itu, nama itu sudah lahir. Ironisnya, aku tidak punya tenaga untuk membela diri. Aku seperti mayat hidup yang hanya bisa menatap tuduhan itu tanpa kata. Aku menjelaskan seadanya,seperlunya dan Yap, selamat Alfa kamu jadi sosok jelek disejarah orang lain.
Semua orang sibuk jadi hakim, aku bahkan tidak sempat jadi terdakwa yang bicara.
Kesombongan yang dulu kupelihara runtuh satu per satu. Aku dulu bangga karena tidak pernah gagal di wawancara kerja. Aku pikir aku kebal dari rasa kalah. Ternyata aku cuma anak manja yang belum pernah ditampar keras oleh kenyataan. Dan sekarang aku mencicipi kekalahan itu dalam dosis penuh. Rasanya seperti racun. Rasanya seperti tenggelam di lumpur sambil disaksikan orang-orang yang kau pikir teman. Hahaha.
Entah apa yang Tuhan rancang. Entah ini ujian atau pembantaian. Mungkin Dia sedang merobohkan aku habis-habisan supaya aku dibentuk ulang. Benarkan begitu Tuhan? Tapi untuk sekarang, jujur saja, aku sudah tidak peduli. Hari-hari terasa seperti ruang interogasi yang tak berujung. Dan di tengah semua ini, satu pertanyaan terus berputar di kepalaku, seperti paku yang tidak bisa dicabut
Apakah aku masih belum berhak bahagia?
Comments
Post a Comment