Spesies manusia tolol ini akhirnya mengutuk dirinya sendiri. Mengeluh, frustasi, dan sembunyi di balik idealisme yang kadang cuma jadi tameng rapuh. Gue sekarang kayak manusia super tertutup, worthless, dengan impulsifitas akut yang udah mendarah daging. Gue takut ketemu orang. Gue takut banget ngubungin temen. Gue takut minta tolong sama keluarga sendiri. Keluarga hahaha sudahlah jangan dibahas. Gue pura-pura keliatan baik-baik aja padahal pelan-pelan frustasi ini udah mulai ngerobek isi kepala. Lihat aja ngetik ini mata udah berat. Gue bisa nebak apa kata orang-orang kalau tau kondisi gue. "Lu sekarang pengen kerja kemarin udah kerja lu cabut. Sekarang ngeluh lagi." Iyaaaaa GUE TOLOL! PUAS LO! Padahal kalau mau flashback fase sekarang sebenernya bukan fase terburuk dalam hidup gue. Gue pernah ada di titik lebih parah. Baru lulus diploma dari Politeknik Negeri Bali. Corona datang. Wisuda online hambar. Lowongan kerja di ghosting. Job market kacau balau. Tabungan makin tipi...
Sebenarnya aku ingin menulis panjang tentang bagaimana aku bisa terdampar di Bekasi setelah memutuskan resign dari kantor di Jakarta, lalu menerima segala bentuk kebaikan dari sekitar. Tapi sebelum jauh ke sana, ada satu hal penting yang aku pelajari hari ini bahwa kita perlu membuka diri dan menunjukkan siapa diri kita, apa aktivitas kita. Bukan untuk validasi, melainkan untuk mencegah stigma dan menjaga kewarasan sekitar. "Nama baik perlu ditunjukkan, bukan dibiarkan." Sebelum cerita panjang ini dimulai, izinkan aku menyampaikan permohonan maaf yang paling dalam, juga ucapan terima kasih yang rasanya tak akan pernah cukup dituliskan di sini. Untuk Hafiz, member di kelas pronun half-ku beberapa tahun lalu, terima kasih sudah menyelamatkanku, sekaligus memberikan pelajaran berharga hari ini. Here we go .... Hari ini hari Minggu. Setelah sepekan aku disibukkan dengan segala persembunyian, akhirnya aku jujur bahwa aku kehilangan pekerjaan dan sedang berada di ujung kota Bekasi...