HARRIS PURI MANSION Aku tidak dilahirkan di tempat di mana orang terbiasa bangun pagi demi mengejar KRL, mengenakan jas hitam yang terlalu panas untuk iklim tropis, lalu bergegas ke kantor hanya untuk terjebak macet dua jam dan duduk di meja dengan ekspresi yang sama seperti wallpaper laptop mereka, datar dan tidak punya harapan. Tidak. Aku tidak lahir di sana. Aku lahir di kabupaten kecil yang kalau kamu sebut namanya di Jakarta, kemungkinan besar mereka akan mengira itu nama varian mi instan. Setiap pagi yang aku kenal sejak kecil bukan suara deru mesin mobil atau klakson yang saling sambar seperti adu gengsi antar pengemudi. Suara yang membangunkanku adalah jangkrik dan kadang sapi tetangga yang berhasil lepas dari kandangnya. Pemandangan harianku bukan gedung pencakar langit, tapi sawah menguning, anak-anak sekolah yang pulang tanpa sepatu karena main bola di lapangan becek, dan ibu-ibu yang menggiling cabe sambil bergosip tentang siapa yang mulai berani menyicil motor matic. ...
Halo Blogspot! Entah mengapa, setiap kali membuka laman ini, aku selalu merasa seperti pulang ke ruang paling jujur dalam kepalaku. Di sini, tidak ada keharusan untuk memilih diksi yang mengilap, tidak ada tuntutan gaya bahasa yang mencolok, dan tidak ada suara-suara yang meminta agar semuanya terdengar sempurna. Blog ini seperti tempat duduk tua yang nyaman di sudut kafe yang lusuh, tapi selalu bisa menjadi tempat kembali. Dan hari ini, aku ingin bercerita. Tentang sebuah keputusan besar, Resign. Iya, aku akhirnya resign. Sebuah keputusan yang tidak muncul dalam semalam, tidak juga karena amarah atau kekecewaan sesaat. Justru sebaliknya, keputusan ini datang setelah waktu yang panjang, saat aku mulai merasa bahwa pertumbuhan bukan lagi tentang apa yang bisa kudapat, tapi tentang apa yang bisa kuselami. Di usia yang kalau dipikir-pikir sudah cukup untuk menyadari bahwa kenyamanan bisa menjadi jebakan yang halus, aku mulai mempertanyakan ulang tentang untuk apa semua ini? Bukan karena p...