Skip to main content

Impulsifitas, Pengangguran, dan Frustasi


Spesies manusia tolol ini akhirnya mengutuk dirinya sendiri. Mengeluh, frustasi, dan sembunyi di balik idealisme yang kadang cuma jadi tameng rapuh. Gue sekarang kayak manusia super tertutup, worthless, dengan impulsifitas akut yang udah mendarah daging. Gue takut ketemu orang. Gue takut banget ngubungin temen. Gue takut minta tolong sama keluarga sendiri. Keluarga hahaha sudahlah jangan dibahas.

Gue pura-pura keliatan baik-baik aja padahal pelan-pelan frustasi ini udah mulai ngerobek isi kepala. Lihat aja ngetik ini mata udah berat. Gue bisa nebak apa kata orang-orang kalau tau kondisi gue. 

"Lu sekarang pengen kerja kemarin udah kerja lu cabut. Sekarang ngeluh lagi."

Iyaaaaa GUE TOLOL! PUAS LO! 

Padahal kalau mau flashback fase sekarang sebenernya bukan fase terburuk dalam hidup gue. Gue pernah ada di titik lebih parah. Baru lulus diploma dari Politeknik Negeri Bali. Corona datang. Wisuda online hambar. Lowongan kerja di ghosting. Job market kacau balau. Tabungan makin tipis. Stress makin menggila. Untungnya masih ada sisa tabungan beberapa juta hasil kerja sampingan waktu kuliah. Dengan tekad bulat gue gambling pergi ke Kampung Inggris.

Tapi duit segitu jelas nggak cukup buat bertahan dalam waktu yang lama. Akhirnya gue jadi tukang sapu di salah satu lembaga Kresna. Bayarannya meskipun cukup buat makan tapi gue masih bisa ikut kelas gratis. Bayangin waktu itu buat beli handuk baru aja gue nggak mampu. Ironis banget.

Untungnya hidup nggak selamanya nginjek kepala. Dari tukang sapu gue diterima jadi tutor asrama dilembaga lain. Lalu jadi kepala divisi. Performa gue on fire. Semua orang bisa liat. Gaji naik fasilitas nambah. Gue berani kuliah lagi sambil tetap kerja meski harus jungkir balik dan ngutang sana sini. Mimpi gue jadi sarjana akhirnya checklist.

Selanjutnya mimpi masa kecil, Obsesi lama gue muncul lagi. Kerja di Jakarta. Gue gambling lagi. Resign dari Pare ninggalin lembaga dengan sisa utang ke temen-temen. Mantra sakti "kalau nggak sekarang kapan lagi?" nyayat gue lagi.

Jakarta nyambit gue pake realita pahit. Gaji pertama cuma 124 ribu. Seratus dua puluh empat ribu buat hidup sebulan. Skill, value, dan effort gue kayak nggak ada harganya. Gue bertahan tapi akhirnya menyerah. Resign. Direksi dan manajer pusat sempet nahan gue. Tapi pahitnya udah nggak ketelen lagi. Gue keluar dengan sisa gaji dan beberapa proyek didepan yang ternyata zonk. Gue nggak sempet double check. Hasilnya nihil. Sialnya gue makin nyemplung ke utang.

Uang makin tipis mental makin nggak stabil. Gue malah jadi kalap beli makanan dan kopi. Ilusi buat jaga kewarasan. Padahal kebutuhan numpuk pemasukan berkurang. Untung Tuhan masih kirim pertolongan lewat murid gue di Bekasi. Dia tiba-tiba nawarin gue buat tinggal di rumahnya. Entah kenapa dia masih percaya. Gue janji bakal jaga amanah itu, meskipun gue pernah ngecewain dia tapi gue janji gue bakal belajar dan amanah.

Sekarang udah hampir sebulan gue nganggur. Gue survive dari buka kelas private online. Meski recehan setidaknya bisa buat makan. Hutang gue cicil pelan-pelan. Gue nggak mau kehilangan kepercayaan orang. Tapi titik frustasi tetep datang. Gue udah apply ke banyak company. Dari yang nyambung sama background gue sampai yang nggak nyambung sama sekali. Satu hal yang pasti, gue masih belum mau apply ke dunia pendidikan. Hati gue udah penuh luka di sektor itu. Gue nggak bisa ngajar setengah-setengah atau menderita dengan kenangan dengan murid-murid gue. Dan sekarang gue butuh keluar total.

Interview? ada. Pertama hostel di Jogja. Gaji 50 ribu per delapan jam. Seminggu paling banter tiga kali. Itu cuma cukup buat bayar kos. Gue skip. Kedua e-commerce dari China buat posisi live chat agent. Gue lewatin tahap HRD. English test, reading listening writing speaking, Semua lancar. User interview aman. Tinggal test terakhir.

Dan BOOM! Keyboard laptop gue tiba-tiba error pas typing test. Semua buyar. Gue yakin gagal. Dan bener nggak ada kabar sampai sekarang. Menunggu itu bener-bener menyiksa. Setiap jam setiap menit bahkan setiap detik rasanya kayak tusukan. Gue ngerasa useless. Gue bahkan sempet mikir Jakarta emang bukan buat gue. Gue kepikiran pulang kampung. Tapi pulang mau ngapain. Atau balik kerja di bar di Bali. Ah anjing kepala gue chaos.

Sampai akhirnya satu kabar baik muncul. Undangan interview dari startup hijau yang udah jadi jagoan di Indonesia. Gue kaget sekaligus semangat. Interview offline di Jakarta Timur. Modal nekat dua ratus ribu buat transport dan cukur rambut. Lagi-lagi mantra kalau nggak sekarang kapan lagi. Gue gambling.

Interviewnya lancar malah seru. Gue ngobrol dengan user nyambung bahkan dia keliatan tertarik sama gue. Tapi gue takut berekspektasi. Gue tahu ada kandidat lain. Gue nggak bisa kontrol hasilnya. Hari Kamis gue interview. Jumat belum ada kabar. Sabtu Minggu kosong. Gue pikir HRD libur. Senin gue bahkan coba jalur langit doa sambil nodong sama Allah minta jawaban jam sebelas. Setiap HP bunyi gue langsung cek. Tapi sampai tulisan ini dibuat belum ada balasan.Gue ambruk lagi. GUE CAPEEEKK!!!!

Akhirnya gue balik lagi ke platform pencari kerja. Nyari harapan meski makin hari kepala gue makin berat.

Jakarta entah gimana caramu membentuk gue tolong jaga kewarasan gue. Gue masih mau bertahan. Gue masih mau hidup. Gue masih percaya mantra itu meskipun udah bikin gue berdarah-darah. Kalau nggak sekarang kapan lagi.

SEMOGA GUE MASIH WARAS DAN HIDUP SAMPAI GUE BERHASIL WUJUDIN SATU-SATU APA YANG GUE MAU.

Comments

Popular posts from this blog

In Order to Fall in Love with Myself – Again

Being single for quite a long time has opened a new chapter of my life, the loss of confidence in rebuilding a relationship. Love once felt so simple, coming naturally, without much drama. Now, my life is filled with heavier things. Aging, a world that keeps moving faster, post college debts waiting to be paid, and work that seems endless have taught me to manage myself more wisely. Youngerself Yap, Life hasn’t been quiet. As I get older, I feel like the world is getting louder and busier, while I’m trying to keep up. Somewhere along the way, the idea of falling in love started to feel less important, maybe even impossible, hahaha. Alfa, when will you take the next step? ” - It means finding love again. But am I ready? He was so confident with his imperfection I paused when I heard that question. I stood in front of the mirror, staring at myself, trying to find answers. But instead of clarity, I felt something else, fear. Not fear of being alone, but fear of opening myself up a...

25 LITER

Bagi saya mengajar adalah perihal yang tidak hanya sebatas berdiri didepan kelas, menjelaskan, kemudian selesai. Mengajar adalah perihal yang lebih daripada itu, tak hanya melibatkan kepala namun sejatinya mengajar melibatkan pula hati didalamnya. Pengajar yang belum bisa mengajar itu salah tapi yang lebih salah lagi adalah sistem yang membiarkan pengajar yang tidak bisa mengajar itu mengajar. “Tapi bukankah bisa learning by doing ?” “Dulu Bro Alfa juga awal-awal ngajar   juga pasti nggak kompeten, kan?” “There’s no one who deserves at first, Bro” Semenjak menjadi kepala divisi kelas ada satu hal yang akhirnya terjawab atas pertanyaan-pertanyaan diatas. Jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar tentu titik awal saya adalah belajar, kemudian saya mengambil kesempatan-kesempatan untuk mengajar dengan menjadi sukarelawan pada beberapa kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan dunia pengajaran selain itu membangun relasi dengan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar ada...

The First Step of Learning Leadership – Badan Eksekutif Mahasiswa

  Ever since I started taking on roles in classes, organizations, and companies, I’ve often asked myself: What does it take to be a good leader? For a long time, I didn’t know the answer. I first learned basic leadership skills when I became the class secretary. That was when I practiced talking to both classmates and teachers. Later, at university, I became the class representative, which taught me about how the system worked in my department. My skills grew even more when I was chosen as Kabid Penalaran dan Keilmuan in the Badan Eksekutif Mahasiswa at Bali State Polytechnic, where I led a team of six people. Now, I feel lucky to be the head of a division in the institution where I work, and I see it as a gift from God. Through these experiences, I’ve faced many challenges working with different people. As a leader, I’ve learned to communicate well with my superiors and my team, both one on one and in groups. These experiences have shaped the way I talk and work with others, ...