Aku tidak dilahirkan di tempat di mana orang terbiasa bangun pagi demi mengejar KRL, mengenakan jas hitam yang terlalu panas untuk iklim tropis, lalu bergegas ke kantor hanya untuk terjebak macet dua jam dan duduk di meja dengan ekspresi yang sama seperti wallpaper laptop mereka, datar dan tidak punya harapan.
Tidak.
Aku tidak lahir di sana. Aku lahir di kabupaten kecil yang kalau kamu sebut
namanya di Jakarta, kemungkinan besar mereka akan mengira itu nama varian mi
instan. Setiap pagi yang aku kenal sejak kecil bukan suara deru mesin mobil
atau klakson yang saling sambar seperti adu gengsi antar pengemudi. Suara yang
membangunkanku adalah jangkrik dan kadang sapi tetangga yang berhasil lepas
dari kandangnya. Pemandangan harianku bukan gedung pencakar langit, tapi sawah
menguning, anak-anak sekolah yang pulang tanpa sepatu karena main bola di
lapangan becek, dan ibu-ibu yang menggiling cabe sambil bergosip tentang siapa
yang mulai berani menyicil motor matic.
Sebagai
anak kabupaten, aku punya mimpi yang sangat ambisius. Terlalu ambisius,
mungkin. Aku ingin ke Jakarta. Bahkan tidak sekadar ke Jakarta. Aku ingin
tinggal di Jakarta. Aku ingin menjadi bagian dari kota yang katanya keras,
kejam, penuh intrik, dan kadang bikin kantong jebol di hari kesepuluh setiap
bulan. Tapi dulu, waktu aku masih bocah ingusan yang belum tahu apa itu WiFi,
Jakarta buatku hanya sebatas kotak kecil di papan permainan monopoli. Nama-nama
negara asing berjajar, dan entah kenapa Indonesia diwakili oleh gambar Monas.
Saat itu, aku belum tahu Monas itu apa.
Namun
sejak saat itu, aku penasaran. Terutama ketika melihat Jakarta di televisi.
Kamera memperlihatkan manusia-manusia berpakaian necis berjalan cepat dengan
ekspresi serius seperti sedang menyelesaikan misi penyelamatan dunia. Mereka
semua tampak penting, tampak kaya, tampak sibuk, dan tampak seperti tidak
pernah lupa membawa power bank. Aku
lihat ada yang bawa laptop tipis di transportasi umum, ada yang terus-terusan
menatap layar gawai seolah menunggu dunia meledak, dan ada juga yang tertawa
padahal sendirian.
Aku
sempat bertanya dalam hati yang polos dan ingin tahu,
"Mereka
itu kerja apa, ya? Kok bajunya rapi amat? Apakah setiap hari mereka hidup
seperti di film drama Korea?"
Sebagai
anak yang tumbuh jauh dari pusat segalanya, memimpikan jadi bagian dari mereka
rasanya seperti mengirim surat ke alien dan berharap dibalas. Tapi rasa
penasaranku tumbuh. Aku tidak hanya ingin tahu, aku ingin merasakan. Aku ingin
tahu apakah kehidupan mereka benar-benar semewah pakaian yang mereka kenakan.
Namun,
Jakarta selalu tampak terlalu jauh. Bukan hanya secara geografis, tapi juga
secara eksistensial. Ketika aku mulai tumbuh dewasa, mulai kenal internet dan
mulai bisa mengakses Twitter, aku sering melihat orang-orang bicara soal
kehidupan sosial di Jakarta. Ada yang bilang kalau kamu tidak cukup gaul, tidak
fashionable, tidak good looking, kamu tidak akan punya lingkaran pertemanan.
Hubungan diukur dari saldo rekening, tampilan luar, dan seberapa sering kamu
nongkrong di kafe dengan pencahayaan estetik.
Aku
tertawa, tapi dalam hati juga meringis. Aku merasa seperti karakter sampingan
di film yang bahkan tidak muncul di credit title. Ketakutan-ketakutan itu tumbuh
bersama mimpi. Takut tidak cukup ganteng, takut tidak cukup paham tren, takut
tidak cukup up to date, dan yang
paling menyedihkan, takut tidak cukup untuk diterima.
Tapi
waktu tidak bisa diajak kompromi. Usia makin bertambah, dan aku mulai sadar
kalau hidup ini tidak menyediakan tombol rewind.
Lalu
pada suatu sore, sambil makan gorengan dan menatap jalanan sepi di kampung, aku
bertanya pada diriku sendiri,
"Kalau
aku menyerah sekarang, apa kabar anak kecil di masa lalu yang selalu berdoa
semoga bisa melihat Monas secara langsung?"
Maka
dari itu, dengan keberanian yang tidak sepenuhnya utuh tapi cukup untuk
mendorong satu langkah, aku memutuskan untuk resign. Ya, resign dari hidup slow
living di kampung Inggris, resign
dari kenyamanan mengajar di lingkungan yang hangat dan sudah kuakrabi, resign dari deretan pencapaian yang
sudah aku raih. Aku memutuskan untuk memberi diriku sendiri satu kesempatan
terakhir: pergi ke Jakarta, bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai penduduk
yang ingin hidup dan tumbuh di dalamnya.
Tahun
yang mungkin akan kukenang seumur hidup. Tahun di mana aku melawan semua
ketakutanku, bukan karena aku merasa cukup kuat, tapi karena aku tahu kalau aku
tidak melangkah sekarang, mungkin aku tidak akan pernah melangkah sama sekali.
Jadi
dengan bismillah yang sedikit gemetar, aku melangkah. Langkah pertamaku kecil
saja: menyerahkan surat resign, mengepak barang, dan membeli tiket ke kota yang
pernah hanya bisa kulihat dari layar kaca dan papan monopoli.
Apakah
aku siap?
Tidak
sepenuhnya.
Tapi kalau
semua orang harus siap dulu baru berani mencoba, mungkin tidak akan ada yang
pernah pindah ke Jakarta.
Comments
Post a Comment