Skip to main content

GAMANG [cerpen]




Sekali dalam hidupnya, ia selalu menyempatkan diri untuk pergi, terasing, dan menyepi. Baginya akrab dengan malam dan asing dengan pagi adalah ritual dalam upaya untuk menjemput dirinya sendiri yang terkadang hilang dan tertinggal pada sudut yang antah berantah. Caranya beristirahat memang unik. Baginya dengan menjadi asing ia dapat merasakan rasanya berhenti, berhenti  dari keharusan membuat orang lain bahagia. Berhenti dari mengucap maaf atas salah-salah yang tak sengaja, dan berhenti dari mengucap terimakasih atas kebaikan yang terkadang hanya manifestasi dari sebuah kepentingan, ah kejam memang. Sebuah buku yang ia pegang kini seperti menjadi irisan pisang goreng yang setiap rabu menemani paginya, Sophie World.

 “Hidup itu memang menyedihkan dan serius, kita dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain disini, saling menyapa dan berkelana bersama untuk sejenak. Lalu kita saling kehilangan dan lenyap, dengan cara yang sama mendadaknya dan sama tidak masuk akalnya seperti ketika kita datang” – Sophie World –

Duduk ia dalam temaram malam, disiram cahaya rembulan, hanya ada ombak-ombak kecil yang mendesah mengiringi melodi yang mulai bermain pada panggung opera di kepalanya. Ada banyak nama yang tidak lagi sempurna teringat pada ingatannya, ada banyak kebaikan pun kejahatan yang terjadi, hitam dan putih begitu, katanya. Banyak pertemuan dan perpisahan yang secara singkat dia alami, ada ketidak masuk akalan yang tiba-tiba terjadi.  Semua itu membuatnya mengerti bahwa hidup memang selalu tentang diri sendiri. Ketika lahir di dunia ini pun bukankah kita terlahir seorang diri? bahkan dia tidak pernah dapat mengingat bagaimana dia bisa mengenal Ibunya sendiri saat itu. Yang dia tahu saat mulai tumbuh menjadi remaja, beliaulah seseorang yang dipanggil Ibu pun Ayah. Menyelami pertemuan memang selalu rumit.

Lalu, kenapa berpisah itu selalu sakit rasanya?  jika hakekat adanya manusia adalah sendiri. Tentang bertemu dan berpisah sering kali dikaitkan pada pilihan. Seperti jalan yang panjang yang kemudian dihadapkan pada begitu banyaknya persimpangan yang siap mengucapkan selamat datang. Belok ke kiri, ke kanan, putar balik, atau lurus kedepan, silahkan. Bukankah kata orang hidup itu selalu tentang pilihan?  tidak memilih pun adalah sebuah pilihan bukan? Runyam.
Tak terjawab, tanya-tanyanya memang tak pernah terjawab.
Ah, terlalu rumit bercerita tentang kisah cinta Angga dan Maria, Baiklah mari kucoba.


Adakah kau ingin kembali pada hati yang pernah mendustai. Adakah kau ingin berhenti berlari sekali. Adakah kau masih ingin menatap mata indah disudut ruang itu, kenangan di bangku itu, kisah didinding itu, dan jutaan cerita pada gerbang yang setiap pagi kita lewati. Masihkah kita memerangi ego, atau sebenarnya kita telah sama-sama tersadar, sadar ingin kembali. Tapi hati kita sama-sama terhenti, terhenti pada hati yang lain lagi. Maria andai kita bertemu lagi masihkah kau ingin tertidur dalam kidung manisku, masihkah kau rela membagi air mata di bahu ini, masihkah kau mau menatap binar mata yang katamu selalu kau rindukan. Maafkan aku atas segala hal yang tak terjelaskan.

Mungkin,

jarak dan waktu telah memisah kisah kita terlalu lama. Tapi Maria, percayalah hati ini tak mampu sebenarnya, menahan perih melihatmu hanya dalam batas bayang semu semata. Berhentilah sejenak, kembalilah sejenak biarkan kuluapkan emosi dalam hatiku yang terpendam, hingga pada akhirnya kau mengijinkanku untuk berucap cinta kembali padamu, pada mimpi-mimpi kita.
Maukah kau kembali padaku?
Angga.

***
Sepoi-sepoi angin sore menyapu panas secara perlahan, awan-awan mulai meneduh ketepian. Perlahan matahari kian malu untuk bersinar. Aku masih terduduk dibangku depan nomor tujuh. Membunuh waktu, menunggu malam dan menyaksikan lalu lalang kendaraan sepanjang jalan Gajah Mada,  hingga langit berubah warna menjadi indah, pertanda bahwa malam akan segera tiba. Segelas susu jahe kini berganti menjadi secangkir coffee latte dan sebuah roti bakar isi kacang coklat. Perlahan muda-mudi mulai ramai mengisi kursi-kursi kosong yang disusun rapi didalam ruangan pun diluarnya.  Meja-meja mulai dipenuhi aneka pesanan. Suasana Brick Café sekarang tak lagi sehening tiga puluh  menit yang lalu.  Aku hanya bisa mengalihkan pandang sejenak lalu kembali menggerutu dalam hati, mengingatmu yang telah lama pergi dariku. Mungkinkah kau masih saja menyalahkanku atas masalah (yang menurutku) sepele?

Perlahan gemerlap lampu kota menyala diatas pembatas jalur satu arah, sialnya suasana ini kembali mengingatkanku padamu. Pada kita yang pernah bersama melewati sepanjang jalan ini penuh dengan tawa. Kau bercerita tentang tugas-tugas sekolahmu yang memenuhi isi kepala, kamarmu yang mirip kapal pecah, atau kelakuan si bocah adik laki-lakimu yang kadang-kadang membuatmu marah bahkan kegelisahanmu dalam membayangkan masa depan yang masih tak jelas mau dilangkahkan kemana. Apakah kau masih mengingat perkataanku malam itu?

“Maria, sesedih dan segelisah apapun kita, akan tetap menyenangkan bila kita dapat membaginya dan tertawa bersama orang yang selalu kita sayang dan kamu tahu siapa yang kau sayang? Itu aku”
Lalu kau mencubitku dengan raut wajah yang memerah.

kini aku benar-benar rindu padamu, pada wajah yang telah lama tak pernah kutatap matanya.  Sial!
Ah! Bodoh sekali aku, mengapa aku harus mengharapmu kembali sedalam ini. Bukankah kita telah lama berpisah? Mungkinkah kau sudah temukan pria lainnya?  Mungkinkah masih kau sisakan cinta untuku? Atau kau telah memusnahkannya hingga tak bersisa? Sedikit saja Maria, untuk laki-laki yang sekarang tersiksa masa lalu.

Maria, aku merindukanmu …

Aku segera beranjak dari tempat ini dan berpindah ke Rodea Coffee Shop di selatan jalan Jawa, Tempat ini tak terlalu ramai. Dengan pencahayaan yang romantis tak terlalu terang, bergaya klasik dan sedikit lebih tenang dari Brick café di jalan Gajah mada. Aku berada di meja paling belakang, sedikit menjauh dari panggung akustik, dari lampu-lampu yang menurutku masih terlalu terang. Kini secangkir Aceh Gayo menemaniku. Dan sialnya kopi ini kembali mengingatkanku padamu lagi Maria.

“Ngga, suka kopi? Malabar Honey paling enak ada di jalan Jawa, tapi seduhannya menggunakan Vietnam drip supaya rasanya netral tidak terlalu pahit dan tidak terlalu asam, cocok buat lambungmu supaya gak nyeri”

Mengapa kamu lagi maria? Mengapa kamu tak pernah berhenti ada dimanapun aku melangkah. Sejujurnya saat kali pertama aku kembali ke kota ini, kota yang terkenal dengan tembakau, prol tape dan suwar-suwirnya ini, yang terlintas dalam pikiranku adalah kamu Maria. Aku ingin mengabarimu bahwa aku kembali dan berharap kau ada disini. tapi aku masih terlalu gengsi untuk mencoba menghubungimu, sejak saat pesan dariku tak berbalas. Aku takut Maria, takut kehilangan rasa cinta darimu dan tak ingin mengganggumu. Namun apa dayalah aku Maria, hanya laki-laki lemah yang tersiksa oleh rindu, dan bukankah kamu pasti tahu apa obatnya? Itu kamu, kamu Maria.

“Halo my bro … “ seseorang mengagetkanku dari belakang

“Apa kabar lu, lima bulan pergi tanpa kabar”

“Lae Dodi Sitorus … kerja disini kau ha? Apa kabar kau?

“Baiklah, kau apa kabar?”

“Beginilah aku”

“Maria?”

Sejenak hening

“Sudahlah. Eh Betah juga kau disini tak pulang-pulang kau ke Medan, kau dengan Khadijah apa kabar?

“Baik-baik saja, sekarang dia di Purwakarta dapat kerjaan bagus disana”

“oh ya? Sejak lulus SMA kau masih dengan Khadijah? Hebat kali kau lae, bagilah resep awetmu”

 “Ngga, kau lihat patung-patung disana dan seisi café ini, sama seperti itulah aku dan Khadijah. Dari sebuah kayu sampai jadi patung indah macam itu gak gampang Ngga, semua  itu perlu proses dari dipotong, dipahat, dibentuk, diproses macam-macam sampai akhirnya ada di café ini dan gak asal pahat, tapi pakai hati Ngga. Seperti itulah Aku dan Khadijah”

“Sejak SMA kau tak berubah lae, jadi rindu aku nongkrong dengan kau, Khadijah, dan … Maria Ah! tapi kita lain cerita lae”

“Sudahlah tak usah kau banyak alasan, Maria masih sering kesini dan kau saja yang dibahasnya sampai pening kepalaku, kapan kau kembali ke Jakarta?”

“Satu jam lagi lae, aku ke Stasiun ambil kereta malam terakhir”

“Mengapa cepat kali, begini saja aku masih banyak tamu ni tak enak dipandang bosku, Maria itu masih cinta dengan kau. Ini kau catat nomor ponselnya lalu coba kau hubungi dia, aku pergi dulu, beri kabarlah kalau kau balik lagi kesini,  hati-hati dijalan tak usah kau bayar kopinya sekali-kali ku traktir kau”

***
Rodea coffee shop 21.00 WIB
“Maria, semoga kamu baik-baik saja. Maafkan kesalahanku, maaf bila baru saja aku menghubungimu kembali Maria, dan jam 22.00 WIB kereta dari Jember akan membawaku kembali ke Jakarta. Tidak banyak yang bisa ku bicarakan dari pesan ini. Aku harap kamu datang ke Stasiun sebelum aku berangkat, aku menunggumu, aku merindukanmu. Angga”
Pesan terkirim

Stasiun 21.15 WIB
Aku duduk dengan sebuah daypack 40 literku disebuah kursi tunggu, dengan ponsel yang masih ku genggam ditangan kananku, berharap ada balasan darimu Maria. Aku masih bersabar menunggu disini, aku yakin kamu pasti datang, kamu pasti datang Maria. Waktu terus berjalan tanpa toleransi sedikitpun dia tak lagi dapat ku putar, aku masih mengharapkanmu.

Stasiun 21.30 WIB
Aku mencoba menlefonmu, sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali dan tak ada satupun yang kau angkat. Maria, aku semakin gelisah sesekali aku berlari keluar stasiun berharap tiba-tiba bisa bertemu denganmu disini.

Stasiun 21.45 WIB
Berkali-kali aku kembali melihat ponsel, tak ada satupun pesan darimu yang masuk. Gelisahku mulai membuncah, berkali-kali ku kirim lagi pesan untukmu dari memohon hingga mengemis tak ada satupun yang kamu tanggapi Maria. Sesalah apa aku Maria? Sampai kau seperti tak ingin melihatku lagi. Sebegitu sakitkah kau Maria? Sampai tak memberiku kesempatan mendapat maaf darimu. Maria aku menyayangimu.

Stasiun 21.53 WIB
Aku menelfonmu kembali, ditujuh menit terakhir ini aku masih berharap besar dalam ketidak mungkinan ini.

“Angga” Terdengar suarah lirih Maria menyebut namaku dari  ponsel

“Halo Maria, ini Angga”

“Maria kamu dimana, aku berdiri didekat loket pemebelian tiket, sebentar lagi  kereta datang Maria kemarilah, Maria maafkan aku, aku merindukanmu, aku mencintaimu Maria ”
Telfon tetap terhubung, yang terdengar hanya suara Maria yang terisak.

“Maria, dimana kamu?”

Tut … tut … tut.

“Maria … Mar”
Maria memutus telponnya tanpa kata selain namaku yang dia sebut tadi.

Didalam kereta Argo Parahyangan 22.00 WIB
Harapanku untuk melihat senyumu sekali saja kini benar-benar musnah, Maria. Sebersalah apakah aku Maria? hingga kau tak sedikitpun memberikanku pengampunan yang kuminta. Maaf bila dimasa lalu kamu pernah sakit hati karenaku, maaf bila dimasa lalu kau benar-benar pernah ku kecewakan, maaf bila dimasa lalu ada luka yang kau sembunyikan. Biar bagaimanapun pengharapanku padamu masih teramat besar Maria. Maafkan aku Maria.

Kini … Aku menyerah.

Maria bila dengan aku kembali padamu kau semakin terluka, bicaralah! aku tak akan memaksakannya. Maria bila dengan aku kembali padamu kau semakin menderita, bicaralah! agar aku lebih ikhlas untuk melangkah. Maria bila mencintaimu adalah sesuatu yang salah, aku tak akan lagi bermain-main dengan kenangan dan keputusan untuk kembali padamu. Bicaralah, agar aku tahu bahwa aku bukanlah laki-laki beruntung yang dapat memilikimu.
Dulu kau pernah bilang bukan? Bahwa hati ini seperti rumah, kemanapun dan sejauh apapun penghuninya pergi dan seberapa banyakpun penghuninya berpindah dari satu tempat ketempat lainnya rumah tetaplah rumah. Sebuah tempat dimana rindu menjadi dipondasinya, rumah tetaplah rumah, yang selalu menjadi tempat terakhir untuk kembali.
Maria bila memang menjauh darimu adalah salah satu cara membuatmu bahagia, biarlah aku yang melangkah. Aku tak akan lagi bermain-main dengan kenangan kita berdua, aku tak akan bertahan pada hati yang tak pernah pasti. Biarlah, biarlah Maria asmara yang masih membara ini padam perlahan bersama waktu yang terus berjalan. Maria aku masih sangat menyayangimu tapi mungkin dengan pergi darimu adalah satu-satunya cara agar kau bahagia, maka akan kulakukan. Sebab itulah cara terbaik untuk menyayangimu.










Comments

  1. kok aku kesel ya sama Maria dicerita mu ni wkwkwk ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siapakah dirimu wahai anonymus hahaha anyway thank you for reading loh

      Delete
  2. Ditunggu lahh versi Maria nyaa kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah belum kepikiran loh buat versi Maria, Thank you idenya =)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

In Order to Fall in Love with Myself – Again

Being single for quite a long time has opened a new chapter of my life, the loss of confidence in rebuilding a relationship. Love once felt so simple, coming naturally, without much drama. Now, my life is filled with heavier things. Aging, a world that keeps moving faster, post college debts waiting to be paid, and work that seems endless have taught me to manage myself more wisely. Youngerself Yap, Life hasn’t been quiet. As I get older, I feel like the world is getting louder and busier, while I’m trying to keep up. Somewhere along the way, the idea of falling in love started to feel less important, maybe even impossible, hahaha. Alfa, when will you take the next step? ” - It means finding love again. But am I ready? He was so confident with his imperfection I paused when I heard that question. I stood in front of the mirror, staring at myself, trying to find answers. But instead of clarity, I felt something else, fear. Not fear of being alone, but fear of opening myself up a...

25 LITER

Bagi saya mengajar adalah perihal yang tidak hanya sebatas berdiri didepan kelas, menjelaskan, kemudian selesai. Mengajar adalah perihal yang lebih daripada itu, tak hanya melibatkan kepala namun sejatinya mengajar melibatkan pula hati didalamnya. Pengajar yang belum bisa mengajar itu salah tapi yang lebih salah lagi adalah sistem yang membiarkan pengajar yang tidak bisa mengajar itu mengajar. “Tapi bukankah bisa learning by doing ?” “Dulu Bro Alfa juga awal-awal ngajar   juga pasti nggak kompeten, kan?” “There’s no one who deserves at first, Bro” Semenjak menjadi kepala divisi kelas ada satu hal yang akhirnya terjawab atas pertanyaan-pertanyaan diatas. Jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar tentu titik awal saya adalah belajar, kemudian saya mengambil kesempatan-kesempatan untuk mengajar dengan menjadi sukarelawan pada beberapa kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan dunia pengajaran selain itu membangun relasi dengan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar ada...

The First Step of Learning Leadership – Badan Eksekutif Mahasiswa

  Ever since I started taking on roles in classes, organizations, and companies, I’ve often asked myself: What does it take to be a good leader? For a long time, I didn’t know the answer. I first learned basic leadership skills when I became the class secretary. That was when I practiced talking to both classmates and teachers. Later, at university, I became the class representative, which taught me about how the system worked in my department. My skills grew even more when I was chosen as Kabid Penalaran dan Keilmuan in the Badan Eksekutif Mahasiswa at Bali State Polytechnic, where I led a team of six people. Now, I feel lucky to be the head of a division in the institution where I work, and I see it as a gift from God. Through these experiences, I’ve faced many challenges working with different people. As a leader, I’ve learned to communicate well with my superiors and my team, both one on one and in groups. These experiences have shaped the way I talk and work with others, ...