Hari ini –puluh tahun lalu, Bapala mungkin jadi manusia paling bahagia didunia mungkin pula menjadi manusia paling menyedihkan jika pada akhirnya ia tahu bahwa sperma terhebatnya menghasilkan anak manusia yang liar, keras, dan suka membantah. Seperti biasa, saya tidak dibesarkan dengan perayaan-perayaan yang meriah, mungkin mereka lupa (saya juga berharap mereka benar-benar lupa) bahwa hari ini adalah hari dimana saya dilahirkan dunia sebab saya benar-benar tidak menginginkan perayaan apa-apa, hadiah apa-apa, bahkan sekedar ucapan yang apa-apa pula. Momentum ulang tahun adalah momentum yang teramat personal bagi saya, refleksi dan evaluasi yang sama personalnya. Saya tidak mau orang lain bahkan orang-orang terdekat saya mengintevensinya. Biarlah ia menjadi milik saya, hanya milik saya.
Hari ini, pada usia yang sama dengan saya dia - seseorang yang sama resahnya dengan saya – meninggalkan dunia dengan senyum yang paling bahagia (saya rasa) namun nafasnya tetap terasa hangatnya mengudara bersama kabut mandalawangi, tatapnya masih tajam melebur pada butir-butir pasir berbisik. Andai dia masih ada, aku ingin menhujani atap rumahnya dengan surat-surat yang bebas kulayangkan berisikan keresahan-keresahan yang sama penatnya, tentang saya yang pernah hilang nasionalismenya, tentang saya yang begitu membenci pemerintah, tentang saya dengan mimpi-mimpi yang tidak akan pernah terwujudnya, dan yang paling menyedihkan adalah tentang saya yang tidak pernah bisa berbuat apa-apa.
Bukan kroni-kroni menjijikan yang menjadi musuh saya, namun saya merasah begah dengan mulut-mulut kaum borju dengan retorika-retorika elitisnya namun tak pernah sekalipun sudih mencecap barang setetes keringat marjinal. Suatu hari saya pernah pergi kesbuah kota yang tak perlu saya sebutkan namanya, gedung-gedung tua, bendungan air, toko-toko kelontong berjejer disana. Sengaja saya pergi hampir lewat tengah malam dengan mobil grab yang pesan melalui gawai saya. Malam itu terasa begitu menyedihkan, saya berjalan-jalan menengok ke dalam gang-gang. Pijar-pijar lampu menemani langkah saya yang teduh, sesekali saya terduduk dan kepahitan menguasai saya pada malam-malam yang teramat semu. Kontras dengan bangunan-bangunan yang dipermak sedemikin bagusnya, dibaliknya ada manusia-manusia yang menahan rasa laparnya, menahan kantuknya demi sekilo – duakilo beras sebagai hadiah untuk dibawa pulang kerumah. Pada bendungan-bendungan sungai tertidur orang-orang yang kelaparan. Terduduk mereka-mereka yang pesimis akan hidup, sama pesimisnya dengan saya.
Kemelaratan ini benar-benar taik.
Dan yang lebih taik adalah
Comments
Post a Comment