Skip to main content

Menjemput Alfa

Rasanya perjalanan pulang kemarin adalah bukan tentang perjalanan keluar, ia adalah perjalanan kedalam. Tepat pukul 08.00 kereta kahuripan yang harusnya membawa saya dari Lempuyangan – Jombang masih belum ada kabar, terjebaklah saya di smoking area memandangi langit yang sedari tadi merengek hingga menumpahkan airmatanya ke tanah. Saya buka gawai tua saya, melihat kembali pesan-pesan lama yang masih mengendap dalam WhatsApp saya. Muncul satu pesan dari sahabat seperjuangan saya, Sabri. Seorang kawan yang selalu menjadi tempat saya mencurahkan kegetiran tentang apapun selama kami masih sama-sama berjuang sebagai tutor camp  dengan banyak drama dibaliknya.

hold your tears and be patient with your life. Like I did”

“Having enough money is better than having a lot but you couldn’t feel the sense of being struggle.”

Yap, pesan itu saya terima saat kali pertama saya memutuskan untuk mencoba hidup tanpa hingar-bingar kehidupan camp dan rasanya pesan itu cukup relate dengan perasaan saya akhir-akhir ini. “I am a fighter, every time I am down, I get up stronger afterwards” adalah mantra yang selalu saya coba ucapkan saat saya rasa dunia memang lagi nggak berpihak. Ada yang hilang, saya tahu tapi entah darimana saya harus memulai dan kapan saya akan menemukan. Uang memang segalanya dan segalanya perlu uang, saya mahfum tapi karena uang pula sebagian diri saya menghilang. Ada ketidakpuasan, ada kemarahan, ada banyak rasa pahit yang saya telan. Idealisme saya menghilang namun belum lenyap. Sepertinya saya harus memulai, memulai latihan untuk menemukan the sense of being struggle yang Sabri bilang. Akhirnya saya memutuskan, memutuskan untuk kembali menemukan sosok Alfa jaman dulu, Alfa sang petarung.


Sekembalinya saya ke Kampung Inggris, saya memutuskan hanya akan memimpin camp dan sementara waktu saya akan rehat sejenak dari main class sembari berharap menemukan kawan lama saya, sosok Alfa dimasa lalu saat kali pertama ia membesarkan Bootcamp – camp pertama yang dibangun dengan idealisme yang utuh. Camp pertama yang dibangun dengan ketulusan, rasa sayang serta ikatan persahabatan yang begitu luhur. Camp pertama yang mengajarkan saya tentang the sense of being struggle.

Masa-masa bersama Bootcamp adalah masa-masa yang tidak pernah terduga. Mereka adalah hadiah ulang tahun paling luar biasa yang pernah saya terima, tidak sempurna namun bermakna. Kalau ditanya lelah namun bahagia itu seperti apa, jawabannya adalah mereka. Dan sekarang saya rindu masa-masa itu, masa-masa saya bertumbuh dengan akar yang masih belum terlalu kokoh namun saya bertahan. Sebagian orang mungkin menganggap saya sedang memiskinkan diri dengan memilih menderita tanpa rupiah dari main class tapi jujur perihal ini adalah perihal yang lebih daripada itu. Saya ingin kembali berjuang. Menahan lapar namun tetap belajar, menahan kantuk tanpa terus mengutuk. Saya ingin menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk anak-anak saya di camp tercinta yang hari ini saya namai PETRION. Semoga mereka adalah pemantik untuk saya agar terbangun dari tidur panjang yang begitu melenakan. Ah! Kali lain mari bercerita tentang mereka.

Hei! Gimana rasanya tidak lagi punya banyak uang? Berat? Tentu saja. Sekarang saya harus benar-benar menghemat tiap-tiap lembar yang tersisa di dompet saya. Nggak ada makanan korea, nggak ada laundry berbayar, nggak ada kopi legawa, saya harus kembali belajar melepas hal-hal materialis dari diri saya dengan kembali menjadi Alfa di jaman dulu. Uang yang ada hanya cukup untuk makan, rokok, dan bayar kursus. Saya rindu, rindu sekali sosok Alfa yang pernah berjuang dalam ketiadaan sebab dari sana ia pernah percaya terhadap yang ada. Ia pernah bernafas yang tidak hanya sekedarnya. Sebelum pada titik ini, saya rasa diri saya berubah menjadi sosok yang tidak lagi mensyukuri hal-hal kecil yang mengelilingi saya. Saat teman saya mentraktir saya rasanya biasa saja mungkin karena sebenarnya saya mampu membayarnya namun ketika dulu anak-anak Bootcamp membuatkan saya kopi rasanya begitu luar biasa. Mungkin karena jaman itu hanya untuk membeli kopi saja saya harus menghitung dua kali hahaha. Saya ingin kembali mensyukuri hal-hal kecil yang sejauh ini terlewatkan begitu saja tanpa saya dalami bahkan untuk urusan bernafas saja, saya tidak benar-benar bernafas hanya sekedarnya, kemudian hidup rasanya berlalu begitu saja tanpa arti tanpa makna.

Saya tidak pernah tahu kemana pada akhirnya keputusan konyol ini akan membawa saya, tapi setidaknya saya memulai. Saya mencoba. Saya mencari sebab yang mencari kelak yang akan menemukan. Dan, saya tidak sabar akan pertemuan yang tentu saja akan menjadi sangat spesial dan personal bagi saya.

Alfa, saya datang!

Comments

Popular posts from this blog

In Order to Fall in Love with Myself – Again

Being single for quite a long time has opened a new chapter of my life, the loss of confidence in rebuilding a relationship. Love once felt so simple, coming naturally, without much drama. Now, my life is filled with heavier things. Aging, a world that keeps moving faster, post college debts waiting to be paid, and work that seems endless have taught me to manage myself more wisely. Youngerself Yap, Life hasn’t been quiet. As I get older, I feel like the world is getting louder and busier, while I’m trying to keep up. Somewhere along the way, the idea of falling in love started to feel less important, maybe even impossible, hahaha. Alfa, when will you take the next step? ” - It means finding love again. But am I ready? He was so confident with his imperfection I paused when I heard that question. I stood in front of the mirror, staring at myself, trying to find answers. But instead of clarity, I felt something else, fear. Not fear of being alone, but fear of opening myself up a...

Entah

  Cara terbaik untuk bersembunyi dari kekecewaan adalah dengan terus menjadi sibuk. Pulang adalah tentang kesiapan, kesiapan untuk menerima bahwa aku tidaklah lahir dari keluarga yang baik-baik saja. Kesiapan untuk menerima kenyataan bahwa aku hanyalah si miskin yang lemah yang terus mencoba menolong si miskin lainnya padahal kalau ada seseorang yang harusnya mendapat pertolongan, ialah aku yang harusnya berada digarda terdepan. Pak, Bu, Mbah, maafkan aku yang masih terlalu angkuh menolak darimana sebenarnya asal-usulku. Aku ini petualang, yang ingin berpetualang melihat dunia luar. Ingin terus mengenyam pendidikan tapi keternyataan bahwa aku juga orang yang engkau butuhkan selalu berhasil membuatku ingin kembali kembali ke diri ini yang kumal hidup diantara tikus-tikus yang berkeliaran. Hari ini adalah hari yang terlampau pilu, dipukul realita bahwa aku masihlah manusia bisu dihadapanmu semua menjadi kaku berbeda ketika aku berdiri dihadapan banyak orang. Didepan murid-muridku...

25 LITER

Bagi saya mengajar adalah perihal yang tidak hanya sebatas berdiri didepan kelas, menjelaskan, kemudian selesai. Mengajar adalah perihal yang lebih daripada itu, tak hanya melibatkan kepala namun sejatinya mengajar melibatkan pula hati didalamnya. Pengajar yang belum bisa mengajar itu salah tapi yang lebih salah lagi adalah sistem yang membiarkan pengajar yang tidak bisa mengajar itu mengajar. “Tapi bukankah bisa learning by doing ?” “Dulu Bro Alfa juga awal-awal ngajar   juga pasti nggak kompeten, kan?” “There’s no one who deserves at first, Bro” Semenjak menjadi kepala divisi kelas ada satu hal yang akhirnya terjawab atas pertanyaan-pertanyaan diatas. Jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar tentu titik awal saya adalah belajar, kemudian saya mengambil kesempatan-kesempatan untuk mengajar dengan menjadi sukarelawan pada beberapa kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan dunia pengajaran selain itu membangun relasi dengan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar ada...