“Bukan
ku menolakmu untuk mencintaiku
Tetapi lihatlah dulu siapakah
diriku
Karena engkau dan aku
sungguh berbeda
Kau orang kaya, aku
orang tak punya
Sebelum terlanjur
fikir-fikirlah dulu
Sebelum engkau menyesal
kemudian”
Hahaha sebelum memulai tulisan ini, saya ingin tertawa
sepuas-puasnya mengingat kegelian masa lalu yang cukup pahit. Berawal dari
terkesimanya seorang Alfa terhadap penampilan salah satu kontestan Indonesian
Idol; Paul ketika membawakan lagu dangdut dari Hamdan Att yang berjudul
termiskin di dunia yang akhirnya melemparnya kembali pada kenangan-kenangan usang.
Lirik yang syarat akan makna itu, memukul kepalanya untuk mengingat ke-insecure-an terbesar yang pernah dia
hadapi bersama cinta monyetnya di masa sekolah.
Saya tahu, diluar sana masih ada beberapa perempuan yang
tidak memandang harta sebagai salah satu tolok ukur kecintaannya terhadap
laki-laki tapi mau tak mau masalah finansial selalu menjadi masalah utama
kenapa laki-laki merasa sebegitu tidak percaya dirinya. Bait pertama lagu ini
mengingatkan saya tentang seorang gadis yang sebegitu cintanya terhadap saya,
tapi hasilnya saya tidak pernah serius menanggapinya, bukan karena saya merasa
menjadi manusia paling tampan satu sekolah, tapi lebih kepada saya sadar bahwa
saya tidak akan ada biaya barang sekedar membeli pulsa untuk saling berkabar,
makan bersama dan juga pengeluaran lainnya untuk meromantisasi kalau-kalau
memang pada akhirnya kami berikrar untuk pacaran hahaha.
“Jangankan
gedung, gubuk pun aku tak punya. Jangankan permata uang pun aku tiada”
Lirik ini yang akhirnya
menghunus ulu hati sedalam-dalamnya hingga akhirnya air mata menetes seketika.
Saya tidaklah lahir dari keluarga yang segalanya serba ada. Tinggal dirumah
berdindinkan anyaman bambu, berlantaikan tanah, tak ada kompor, hanya tungku
dengan tumpukan-tumpukan kayu di sebelahnya. Deretan kata ini melempar saya
pada ingatan dimana setiap subuh saya menghabiskan waktu di depan tungku dengan
secangkir teh manis menemani nenek yang sedari subuh menyiapkan sarapan pagi
ditemani obrolan-obrolan yang begitu pesimis dan saya menjadi harapan tertinggi
keluarga agar kelak mampu mengubah keadaan yang begitu pelik.
Iya, lirik lagu ini berhasil menghubungkan
saya dengan Alfa dimasa kecilnya.
Saya cukup kenyang melalui
masa-masa paling menderita saat keluarga saya benar-benar dilanda masalah
finansial. Saya menjadi saksi usaha nenek saya untuk mengolah makanan
sisa, mengatur beras sedemikian rupa, hingga tagihan bank keliling yang hampir
tidak pernah absen datang kerumah.
“Aku
merasa orang termiskin di duniayang penuh derita bermandikan air mata
Itulah diriku ku katakan padamu
Agar engkau tau siapa aku
”
Keadaan memaksa saya untuk tidak boleh menyerah dengan apapun yang saya
punya. Dari semenjak duduk dibangku sekolah saya selalu berusaha mencari cara
untuk mendapatkan uang tambahan. Dari ngamen diam-diam hahaha, menjadi tenaga
pembantu pengemasan usaha krupuk rumahan, sampai jadi tenaga serabutan pada
sebuah usaha catering milik guru kewirausahaan saya. Seberapa banyakpun
kegiatan mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang saya lakukan, saya juga bukanlah
anak yang lupa akan tugas dan tanggung jawab semasa sekolah. Saya cukup aktif
di organisasi, mengikuti beberapa perlombaan, hingga menjadi delegasi beberapa
kegiatan pemerintahan. Ketekunan inilah yang mungkin membuat beberapa teman
perempuan saya mengagumi saya, sampai akhirnya saya tidak bisa membendung
perasaan saya untuk juga memiliki kekasih dan berbagi kisah khas anak remaja hahaha.
Transisi dari tidak punya pacar menjadi punya pacar adalah proses
adaptasi yang begitu melelahkan tapi cukup menyenangkan dengan segala bentuk
drama yang saya alami waktu itu. Dan, kalau diingat-ingat permasalahan hubungan
saya sebagian besar disebabkan dengan sibuknya saya belajar dan mencari uang.
Sedikit memiliki waktu untuk barang sekedar bertemu, bahkan kalau saya sedang
menargetkan target tertentu saya bisa lupa kalau saya punya pacar hahaha. Hasilnya
tanduk pacar saya akan muncul dan kalimat sakti yang dikeluarkan adalah
“aku ini siapamu sih?”
Pacar pertama saya masa sekolah adalah korban pertama dari
ketidakpercayadirian seorang Alfa. Sekarang kalau diingat-ingat lucu juga ya,
tapi dulu malunya luar biasa. Karena waktu itu belum punya motor, kami berdua
sering kali menghabiskan waktu di angkot. Kalau ketemu nggak pernah makan
diluar, mentok-mentok pacar saya buatin bekal supaya saya lebih menghemat dan
paling ekstrem saya pegang tangannya di alun-alun kota ketika teman-teman saya
lainnya bisa melakukan hal-hal yang lebih daripada itu. Karena saya merasa
pacar saya sudah melakukan banyak hal sedang saya tidak pernah membelikannya
atau membalasnya apa-apa akhirnya saya putuskan mengakhiri hubungan yang sudah
berjalan sekian bulan itu dengan alasan yang tentu sangat professional, hahaha.
Pacar kedua adalah pacar yang paling banyak menyumbang air mata. Kisah
kami cukup drama, tapi dia berhasil meluluhkan saya dan membuat saya berani
melawan insecurity yang saya punya.
Kencan pertama di pantai, saya beli bensin dia bayarin mie ayam. Ulang tahun
saya, dia selalu memberikan saya hadiah-hadiah yang saya pun tidak pernah
mengharapkannya sedang saya mentok-mentok paling beli ice cream limaribuan, makannya pun dipinggir jalan hahaha. Tapi
entah kenapa dia sebegitu menerimanya, bahkan dengannya saya bisa bercerita
banyak hal. Sisi tergelap yang pernah saya lalui, kondisi keluarga, dan
berbagai macam hal-hal pahit yang saya punya. Hebatnya, dia selalu piawai
memilih kata untuk meyakinkan saya bahwa apapun kondisi saya tidak akan
mengurangi rasa cintanya terhadap saya, huwek! wkwkwk.
Hubungan putus nyambung yang kami punya itu cukup penuh drama. Kemarahan
terbesar yang saya punya kala itu terjadi pasca putus. Beberapa minggu
setelahnya dia sudah menemukan pengganti saya. Sialnya, laki-laki itu jauh
lebih kaya, dari motor yang dipakainya, outfit,
merk helm INK (saya helm keluaran
dealer) dan tongkrongannya. Setiap hari saya mempelajari tentang mengapa mantan
saya itu jatuh hati pada seorang laki-laki seperti dia, sampai pada sebuah
simpulan. Laki-laki itu memang jauh lebih kaya daripada saya yang lingkar
pertemanannya nggak jauh-jauh dari OSIS dan lomba-lomba. Meskipun pada akhirnya
mantan saya ini kembali luluh dengan saya, ternyata dia lebih menyukai saya
yang cupu dan kutu buku. Katanya sih, saya berbeda dari pacar-pacar sebelumnya.
Tapi, sejujurnya saya masih menjadi laki-laki paling tidak percaya diri kalau
diminta untuk main kerumahnya. Kenapa? Jawabannya sederhana, semua diurai
lengkap pada lirik lagu termiskin di dunia.
Sekarang, mungkin keluarga saya sudah jauh berbeda dibanding zaman itu.
Banyak hal yang mulai membaik, saya pun tumbuh menjadi seseorang yang sadar
diri, sadar posisi. Setelah putus dari pacar saya semasa sekolah itu saya tidak
pernah lagi menjalin hubungan yang begitu serius, terhitung tahunan hahaha
sampai karatan wkwkwk. Selain fokus pada diri saya sendiri, saya juga masih
belum terlalu siap untuk kembali membagi hari dengan hal-hal yang menurut saya
belum waktunya menjadi prioritas. Bukan berarti saya tidak mau memulai, do’akan
saja, semoga Tuhan segera mengirimkan seseorang yang memang akan menjadi
pasangan saya untuk bertumbuh dan menghabiskan sisa hidup bersama.
Comments
Post a Comment