“Sekalipun tak sesuai definisi
sukses versi komunal, akan selalu ada peran baik yang dapat diambil” adalah
kalimat yang pernah saya terima saat masih aktif menjabat sebagai kepala bidang
penalaran dan keilmuan di organisasi mahasiswa yang saya ikuti di kampus. Saya
masih ingat betul rasanya tidak mendapat dukungan dari pihak-pihak yang katanya
ada untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi mahasiswa. Semua rasanya memilih
bungkam ketika harus berurusan dengan hal-hal yang seharusnya menjadi muruah
adanya organisasi mahasiswa itu sendiri. Saat itu saya merasa sangat muak
melihat orang-orang memperdebatkan kegiatan-kegiatan budgeting yang sebenarnya hanya akan menaikan nama kampus diluar
namun didalam masih banyak mahasiswa-mahasiswa yang perlu didengar suara-suaranya.
Dipanggilnya beberapa senior saya oleh petinggi kampus karena mempublikasikan
informasi penurunan UKT dari kemenristekdikti di laman media sosial ormawa membuka mata saya bahwa ternyata ada beberapa
hal yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa namun tidak terpublikasi
jika dianggap tidak menguntungkan lembaga. Menjabat sebagai kepala bidang
memberikan saya kesempatan untuk setidaknya dapat mengakses sistem-sistem yang
harusnya dibenahi bersama hingga wacana kajian mahasiswa harusnya segera di
eksekusi dan menjadi prioritas dibandingkan kegiatan-kegiatan turunan yang
pelaksanaannya sudah tersedia polanya.
Singkat cerita, saya menetapkan hari pendidikan nasional sebagai
momentum untuk mendengarkan aspirasi-aspirasi mahasiswa yang kemudian dapat
dilayangkan kepada para petinggi dalam bentuk audiensi. Dalam prosesnya saya
merasa sendirian, disaat saya benar-benar membutuhkan dukungan. Bebagai bentuk
kajian saya pelajari sendiri bahkan tak jarang saya mendapat komentar-komentar
miring tentang pergerekan kecil yang ingin saya buat. Syukurlah, saya memiliki
anggota bidang dan rekan-rekan ormawa yang terus mempercayai saya dan turut
serta membantu proses pengumpulan data hingga pengolahannya. Tidak kenal hari,
begitulah hari-hari saya berlalu mengurusi kajian ini. Dari satu kosan pindah
ke kos-an lainnya, pagi kuliah malam kajian, subuh pun masih kajian hingga
akhirnya kajian ini terbit, diterima petinggi kampus dalam bentuk audiensi.
Tapi, tulisan ini tidak menitik beratkan pada kajian yang kami buat tapi
kepada proses yang saya alami secara personal yang mendewasakan saya secara
emosional untuk tidak meninggalkan orang-orang yang saya sebut sebagai team. Team? “kita ini team, satu tubuh, jika salah satu bagian
terluka maka bagian yang lain akan merasakan sakitnya bukan berarti ketika satu
orang masuk sumur maka kita harus masuk sumur semua, tolong atau setidaknya
jangan tinggalkan” nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang ditanamkan
organisasi saya di kampus dan itu bekerja dengan bagus. Sayang, value ini
rasanya susah untuk diimplementasikan pada sebuah organisasi profit yang segala
bentuk kalkulasinya adalah profit itu sendiri. Sebentar, iya saya paham kita
ini memang perlu menjadi realistis tapi bukankah kita tahu bahwa realistis
kadang membawa kita pada kehidupan yang terkadang begitu melelahkan?
“Tolong atau setidaknya jangan tinggalkan” menjadi rangkaian kata yang
semoga selalu saya bisa pegang. Sewaktu masih bergelut di ormawa, kegiatan
rasanya berjalan begitu cepat. Rapat, tugas, kerja, dan serentetan kegiatan
yang susah untuk diurai mana yang perlu menjadi prioritas pun rasanya susah.
Saya memahfumi bahwa manusia tidak terlepas dari kesalahan, everyone makes mistake. Saya tidak akan
mengeluarkan tanduk pada divisi saya ketika kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebenarnya
tidak perlu dibesar-besarkan. Masalah tidak akan selesai hanya dengan kalimat “Saya
udah coba ngubungin ya tapi kamu nggak ngasih kabar apa-apa” dengan nada
terbahak. Saya akan menjadi begitu sensitif ketika kalimat itu muncul dan satu
kalimat lagi “Nah kan, apa saya bilang?” Presiden Mahasiswa saya pernah menjadi
korban kemarahan saya perkara dua kalimat ini. Ketika seseorang sudah merasa
bersalah sebab sudah melakukan kesalahan dan belajar darinya. Bagi saya, itu
sudah sangat cukup, tidak perlu diperlebar yang akan mempengaruhi kinerja team
kedepan.
Pernah suatu hari junior saya salah menafsirkan redaksional yang memang
terkesan begitu mendadak. Rapat sudah dimulai sekitar 30 menit, menyedihkan
melihat dia berlarian ngos-ngos-an menuju ruang rapat. Dia, tidak bisa menyembunyikan
rasa bersalahnya dan berkali-kali ucapan maaf melayang dari mulutnya. Rasa
marah saya muncul bukan karena keterlambatan dari junior saya, tapi pada
orang-orang yang rasanya intolerir pada kasus ini. Cara mereka meluapkan emosi
dengan memaki-maki atau mendiamkan junior saya yang saya tidak bisa sepakati. Kita
perlu bijak memahami, saya beri tahu dia bahwa dia bersalah dan sudah sewajibnya
merasa bersalah tapi bukan berarti dia berhak dihukum dua kali, sebab
sebenarnya dia sudah menghukum dirinya sendiri. Mungkin saya nggak bisa
menolong dia, tapi setidaknya saya tidak meninggalkan dia.
Sudah merasa tertinggal, ditinggalkan pula rasanya benar-benar
menyakitkan. Hal ini yang saya alami, saat kali pertama saya menjabat sebagai
kepala bidang penalaran dan keilmuan. Banyak hal yang harusnya diturunkan tapi
seolah saya bergerak menentukan arah sendiri. Ketika sebuah masalah muncul,
alih-alih mendapat bantuan yang ada justru “kan, dulu saya pernah bilang
begini?” hahaha sesekali saya ingin bilang kalau kapasitas kepala saya ini
tidak begitu besar untuk menampung segala bentuk informasi yang terus-terusan
saya terima. Guiding would be a better
option than judging though!
Ah, melanjutkan tulisan ini saya jadi kangen team internal bidang saya.
Sekretaris Bidang saya, Sinta dan Seluruh anggota team, Pande, Windu, Adit,
Belinda, Intan, dan Sri. Bersyukur sebab mereka adalah orang-orang digarda
terdepan perihal mengingat Kabidnya yang suka teledor ini. Sering kali mereka
yang akan menjadi alarm, membantu saya memprioritaskan apa-apa yang perlu saya
prioritaskan. Pula, sebaliknya. Penekanan, terhadap penting atau tidak
pentingnya sebuah informasi pun adalah perihal yang harus saya apresiasi. Bukan
hanya sekedar telfon kemudian bertanya
“Fa, dimana?” selesai.
Dan ketika terjadi kesalahan.
“Saya udah coba ngubungi dan ngasih tahu ini itu, tapi kamu nggak respon”
What? Dimana? Oh ya, saya apresiasi anda mencoba memberi tahu tapi
sayangnya niatan baik anda belum tereksekusi dengan jelas. Bahkan junior saya
yang sering disinisin pun paham cara mengeksekusi sebuah informasi.
“Kak Al dimana? Hari ini kita jadwalnya harus selesai ngolah data, kalau
nggak bisa kehilangan momentum.”
Eh, melebar. Jadi intinya sebuah informasi bisa menjadi penting atau
nggaknya bukan karena niatan baik tapi karena eksekusi niatan baik tersebut. Saya
banyak belajar dari junior saya terkait hal ini, dan semoga saya bisa terapkan
dimanapun saya berada nanti.
Pada akhirnya, Kajian kala itu tidak akan berhasil terbit hanya karena
niat baik tapi karena niat baik itu sendiri dan kerja team yang benar dalam
definisi yang sudah kita sepakati bersama.
Comments
Post a Comment