Ada sesuatu yang tak bisa kuingkari dari kota ini. Ia penuh dengan janji-janji manis, ilusi tentang kesuksesan, dan peluang yang seolah terbuka bagi siapa saja yang berani meraihnya. Namun, pada akhirnya aku harus jujur pada diriku sendiri, bahwa tidak semua ambisi bisa dipenuhi, tidak semua mimpi bisa tumbuh di tanah yang keras dan bising ini. Jakarta bagai magnet yang menarikku dengan kilauan cahaya lampu dan hingar-bingar, namun juga menelanku dalam kerumitan yang tak pernah benar-benar bisa kutaklukkan.
Setelah segala perhitungan rasional, dan lebih dalam lagi, setelah menengok ke dalam ruang batin yang sering kulewati dengan gusar, aku menyadari bahwa Jakarta memang tidak untuk semua orang. Kota ini telah mendidikku untuk berani melangkah, tapi sekaligus mengingatkanku bahwa keberanian tanpa pertimbangan hanyalah bentuk lain dari kecerobohan. Ada perbedaan tipis antara tekad dan kesombongan, dan Jakarta, dengan segala ujiannya telah menelanjangiku, menunjukkan bahwa aku belum sepenuhnya siap menanggung beban yang kutawarkan pada diriku sendiri.
Karena itu, aku kembali ke Bali. Bukan sekadar pulang ke tanah penuh mimpi, tapi pulang ke akar. Pulang ke ruang di mana aku pernah bertumbuh, di mana mimpi-mimpi idealis seorang mahasiswa pernah kuukir dengan polos dan penuh keyakinan. Bali adalah tempat di mana aku dulu belajar bahwa hidup bukan sekadar tentang mengejar, tapi juga tentang menerima. Tempat di mana alam, waktu, dan manusia masih bersenyawa dalam ritme yang tak secepat jarum jam Jakarta.
Yang kubutuhkan sekarang adalah ketenangan. Ketenangan dari huru-hara keluarga yang kerap membuatku merasa kehilangan pegangan. Ketenangan dari euforia Jakarta yang melenakan, meninabobokkan dengan janji-janji hingga aku nyaris lupa siapa diriku sebenarnya. Di sini, aku ingin belajar lagi untuk mendengarkan suara batin yang lama terkubur oleh kebisingan, suara Alfa yang dulu begitu berani, begitu yakin pada langkahnya.
Bolehkah aku mengaku gagal? Kata "gagal" terdengar menyakitkan, tapi mungkin inilah kenyataannya. Meski begitu, aku tidak ingin kegagalan ini berubah menjadi tembok. Biarlah ia jadi cermin - cermin yang memantulkan kelemahan, tapi juga mengingatkan bahwa aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki. Gagal bukan berarti mati, gagal hanyalah jeda untuk menata ulang langkah.
Aku melihat jumlah tabungan yang tersisa. Tidak banyak, tapi masih ada. Aku menghitung kemungkinan pemasukan yang mungkin bisa menopang hari-hariku. Berat memang, tapi anehnya di sini, aku merasa lebih mampu. Seperti ada energi yang kembali mengalir, meski perlahan. Seperti ada harapan yang muncul kembali di sela-sela retakan yang pernah kurasakan di Jakarta.
Aku sadar, jangan terlalu larut dalam masalah. Luka perlu dirawat, patah perlu diobati. Mungkin benar, aku harus segera berobat, bukan hanya secara fisik, tapi secara batin. Berobat dari kecewa, dari rasa bersalah, dari ambisi yang patah di tengah jalan.
Yak, aku kembali ke Bali untuk pulih, bukan patah lagi.
Pelan-pelan kita bangkit lagi ya, Al. Hidup memang tak selalu tentang kemenangan besar. Kadang, keberanian terbesar adalah memilih untuk berdamai dengan kegagalan, lalu bangkit lagi dengan langkah yang lebih bijak. Jakarta mungkin menolakmu hari ini, tapi Bali selalu siap memelukmu kembali, agar kau belajar arti keberanian yang sejati.
Comments
Post a Comment