Malam ini boleh kita bercerita tentang semu sang perecok yang berselumu dalam angan?
seperti kecalingan yang tumbuh subur menjalar dibawah pagar-pagar beton gedung
tua itu. Sejujurnya saat akhirnya aku berhasil menerimamu hanya sebatas donganku,
aku berbohong, karena sebenarnya ada begitu banyak rasa-rasa yang tidak pernah
aku lihatkan. Kamu menganggap kita telah sampai pada titik adalat tapi nyatanya
masih ada “tidak” yang tersirat sejatinya kita tidak pernah sampai pada kata
sepakat sebab semakin kita jauh bukankah kita semakin merasa terikat? Atau ini
hanya perasaanku saja?
Bunyi alosu malam itu membuatku tidak berhenti untuk terus
menyemai tiap kisah yang pernah sama-sama terlewati. Ia tidak pernah berlalu
begitu saja. Melodi-melodinya berhasil membaji hati, membentuk dimensi yang
akhirnya mengijinkanmu untuk masuk kembali, ah! Aku benci hal ini. Masih ingat
saat kali pertama aku mekasamu meminum bratawali? Gerak-gerik aversimu
membuatku semakin menginginkanmu untuk mencoba hal-hal yang tidak disukaimu,
kemudian matamu berjolak seolah ingin memaki tapi kamu paham bahwa didepanmu
ini adalah laki-laki yang paling kamu sayangi. Kau bisa apa? selain menahan
pahit kemudian menjadi sipit, Ah senyumu manis seribu kali lipat dan aku merasa
semakin terikat dalam pikat. Kemudian kamu menunjukan khat-khat yang katamu
azimat meski kita dalam situasi yang sangat gelumat baiklah kali ini aku hanya
ingin membuatmu senang, mempercayai omong kosong khat yang kau anggap azimat
itu. Hanya karena aku ingin sesekali kamu merasa hebat.
Pada gedung tua aku
meratap, harus menjadi sedih versi yang bagaimana lagi aku ini supaya kamu bisa
kembali. Nyatanya aku tidak pernah sebagas tiang pada gedung-gedung tua itu yang
masih kokoh hingga hari ini. Aku seperti mengidap rasa candu yang kemudian
menjadi biut. Aku hanya berpagut pada kuat-kuat yang aku kuatkan sendiri sebab
mencintaimu adalah hal perkara bacut. Baiklah, ini sudah keterlaluan aku
memutuskan sedikit mereduksi segala bentuk kenang yang datang, aku duduk di
sebuah kursi panjang menghadap pada aspal jalanan menikmati tiap sesap kahwa tanpa
derawa berharap supaya semuanya musnah, namun lagi-lagi berbicara tentangmu
memang tidak pernah menjadi mudah. Kemudian aku melihat beberapa kain-kain yang
menggantung didepan sana yang katamu kain terbagus adalah kain-kain yang
berbahan abaka. Aku membelinya sebab kamu pernah berkata bakh-bakh mu dapat
muncul saat kau berhasil mendapatkannya.
Semua terlalu aksa,
Percakapan terakhir kita beberapa bulan lalu
“Kamu pergi saja kejar apa yang menjadi inginmu dan
dapatkan! Jangan kembali jika masih ingin pergi untuk itu, aku tidak pernah tahu
apakah kita ditakdirkan untuk sama-sama menetap atau hanya singgah. Aku tidak
lagi mau terlalu kuat mengharap, sebab aku juga tidak pernah tahu sakit atau
bahagia yang nanti aku dapat. Tapi, jika nanti kamu telah selesai kembalilah
kesini, jika masih aku sendiri itu berarti kita akan menetap, namun jika
sebaliknya berarti we are not meant to be,
lupakan” --- Kamu
“Aku tidak pernah dapat memahami tentang ini, tapi jika keputusanmu
adalah seperti itu aku menghargainya. Tidak ada satupun manusia yang dapat
menghentikanku untuk mendapatkan ingin-inginku” --- Aku
Tapi,
Ada hal yang kemudian aku simpan dan tidak pernah berhasil
aku sampaikan
“kamu adalah salah satu inginku yang suatu saat juga harus
ku dapatkan, tapi sekarang biarkan aku hidup dengan ego-egoku, agar kelak aku
siap hidup dengan ego-ego, kita”
Judika – Pergilah Kasih!
22 Februari 2020
THE PAICA!
What a deep story inside ngab!
ReplyDelete